Mengajak kepada kebaikan,
itu tugas kepada siapa saja yang sudah ingin menjalankan keislamannya
dengan sempurna, orang mengajak kepada kebaikan itu tak semudah
membalikkan telapak tangan, apalagi karakter manusia itu berbeda-beda,
kalau ngajak di tempat pengajian, atau gembar gembor di tempat yang
orangnya sudah dikumpulkan oleh panitia, dan mendapat undangan, ya
gembar gembornya mudah, tapi
apa ada yang mau ikut? Habis dipidatoni juga paling sudah lupa dengan
apa yang dikatakan tukang pidatonya, seperti menyiram air pada keramik,
ada debu menempel juga keramiknya sudah kotor lagi, menurutku mengajak
itu harus dari hati, harus dari dalam pribadi manusia, dari kedalaman
jiwa mereka, buat mereka tertarik dengan hatinya, baru diberi penjelasan
kalau sudah ikut.
Dan memberi
penjelasan itu tak mudah, apalagi menjelaskan kepada orang yang belum
tau sama sekali apa yang akan kita jelaskan, dan dalam pikiran orang itu
lepas menuju pemahaman yang bebas, akan makin sulit menjelaskannya,
bisa bisa yang kita jelaskan akan mengalami kebingungan akhirnya setelah
dijelaskan, bukannya akan paham, tapi malah bingung. Apalagi syaitan
juga menghalangi kebaikan itu disampaikan, kebenaran itu dibuka, malah
makin sulit lagi, yang kita jelaskan malah ngantuk, dan gak sabar
mendengar penjelasan kita karena kata-kata kita yang tak menarik dan
ndak ada hadiahnya kalau mendengarkan. Mengajak orang sampai orang itu
ikut dan menjalankan yang kita arahkan, menurutku suatu keindahan dan
kenikmatan tersendiri, apalagi sampai meneguhkan hati orang, dan merubah
pandangan hidupnya, berubah total pada ke arah kebaikan, dan
kebahagiaan kekal di sisi Allah.
Tapi
bagiku kita mengajak saja ke arah kebaikan, orang perduli apa tak
perduli, itu bukan urusan kita, kita lakukan saja dengan ikhlas, Allah
pasti sudah mencatat amal ikhlas kita mengajak ke jalan kebaikan,
menjadi amal ibadah, ikut atau tak ikut orang yang kita ajak, ndak usah
memaksakan kehendak wong hidayah itu miliknya Allah, kita hanya menuruti
saja perintah Allah semampunya, wa’mur bil urfi, mengajak ke dalam
kebaikan, wanha anil mungkar, dan mencegah kemungkaran. Semampu kita.
Nyatanya makin banyak orang yang kita ajak, akan makin banyak pahala yang kita petik, seperti manager
bos perusahaan yang mengajak pada orang banyak untuk ikut bekerja di
pabriknya, makin banyak orang yang bekerja, berarti makin banyak
produksi dibuat.
Pak sutono dan
anaknya yang kerasukan menginap di rumahku berhari-hari, banyak juga
yang ku petik pelajaran dari orang setengah baya ini,
selama bicara denganku, banyak yang diceritakan, kisahnya
bermacam-macam, yah dari kisah seseorang itulah kita kadang memetik
hikmah, dan pelajaran, tak mesti kita melakukan kesalahan sendiri, untuk
memahami arti hidup dan kehidupan, sekecil apapun kita jadikan
pelajaran.
“Maaf pak… apa ini musholla?” tanya pak Sutono padaku sambil menunggui anaknya yang sudah tenang setelah ku keluarkan jinnya.
“Bukan pak… ini majlis…” jawabku singkat.
“Dzikir apa pak…?” tanyanya lagi.
“Bapak
lihat sendiri apa yang tertulis di dinding itu?” jawabku singkat lagi
sambil mengambil rokok dan ku nyalakan. Aku berusaha menghadapi tamu
senyaman mungkin, agar tamuku juga merasa nyaman di depanku, ku tawarkan
rokok pada pak Sutono.
“Oh ya… dzikir thoreqoh, apa ini sama yang Suryalaya itu?” tanyanya lagi.
“Ya bisa dikatakan sama, tapi juga beda.”
“Apa kita ini perlu to pak berthoreqoh ?” tanya pak Sutono.
Ku
pandang wajah pak Sutono, dan ku angan-angan selama beberapa hari di
rumahku, sebab percakapanku ini setelah beberapa hari pak Sutono ada
di rumahku, jadi ku ketahui kalau pak Sutono tak pernah sama sekali
menjalankan sholat selama tinggal di rumahku, tapi aku juga tak akan
memerintahkannya, sebab bisa saja dia berkeyakinan lain, atau beragama
lain, aku tak perduli, pertama aku menolong orang sebatas yang bisa ku
tolong, entah agamanya apa, itu urusan masing-masing punya keyakinan.
Tapi
aku merasa kesulitan juga mau menjelaskan bagaimana menjelaskannya….
setelah lama berfikir, dan rokok ku hisap berkali-kali aku buka suara,
walau sekalipun pertanyaan pak Sutono padaku sekedar iseng saja atau
bukan.
“Kalau orang Islam,
bertharekat itu tidak harus, seperti sebagaimana makan, orang itu tak
harus makan, tapi makan akan jadi butuh kalau perut lapar, juga makan
tak harus makanan yang bersih, tapi kalau kemudian karena makan lalu
sakit, dan berbagai sakit dalam tubuhnya bersarang, dari sakit perut
sampai jantung, komplikasi dll, ya menurutku akhirnya juga harus menjaga
pola makan yang bersih, agar dirinya sehat wal afiat, seperti bapak ini
seumuran bapak tentu punya pengalaman yang banyak, nah masak di
pengalaman itu bapak sendiri tidak timbul pertanyaan, kenapa saya kok
hidup begini, apa bapak hidup tenang di saat ini?” tanyaku.
“Ya
saya memang banyak pengalaman dan berbagai warna hidup ku jalani pak,
dari pengalaman hidup saya, saya sendiri belum bisa memetik sedikitpun
pelajaran.” jawab pak Sutono.
“Ya itu
bisa dilihat dari keadaan bapak yang maaf, masih ku katakan hidup
kelihatannya penuh kesengsaraan dan sepertinya lelah dan penuh
kekecewaan dan kegagalan.”
“Bener
sekali pak, saya memang orang yang sangat-sangat gagal… kalau boleh saya
cerita…” kata pak Sutono sambil wajahnya menunggu persetujuanku.
“Ya silahkan pak…” kataku sambil menyalakan rokok, karena kurasa kisahnya akan lama….
“Dari
dulu.. tahun 80an, saya sudah bekerja, sebelum saya punya istri dan
masih muda, dan saya bekerja di Pekalongan, kerja serabutan, apa saja
saya jalani asal dapat bekerja, sampai saya menemukan kerja saya yang
sekarang ini sebagai penjual bubur kacang hijau, di antara kerjaan saya
sebagai seorang penagih hutang, dulu, kalau nagih hutang, saya sering ke
dukun, untuk minta syarat agar kerjaan nagih hutang saya lancar tanpa
kendala, ada seorang dukun yang saya andalkan, namanya dalang Waskito,
dipanggil ki Waskito, memang dari sarat ki Waskito saya sering mendapat
sareat darinya sehingga waktu menagih hutang itu saya menjadi gampang,
karena sering ke rumah ki Waskito, kami akhirnya seperti keluarga, ki
Waskito tinggal di daerah Krapyak, suatu malam saya dan teman saya
namanya Junaidi seperti biasa meminta sareat pada ki Waskito, dan malam
itu jam baru saja habis magrib, sedang kami dalam keadaan ngobrol,
tiba-tiba ada tamu yang datang, seorang berpakaian hitam-hitam, aneh
pak, saya kok merinding melihat orang itu padahal ya orang biasa,
otomatis pembicaraan saya, Junaidi dan ki Waskito terhenti, sementara ki
Waskito mempersilahkan tamu itu untuk masuk, tapi tamu itu tetap
berdiri tak mau duduk.”
“Ki…. sampean
saya minta untuk datang, ndalang di rumah saya..” kata orang itu sambil
berdiri, aku merasakan nada yang membuat bulu kuduk saya berdiri,
padahal yang diucapkan kata biasa.
“Kapan?” tanya ki Waskito.
“Malam ini.” jawab orang itu singkat.
“Wah kok mendadak sekali?” tanya ki Waskito.
“Ya
karena anak perempuanku menikah, sudah ada rencana nanggap wayang, kok
dalangnya sakit, sehingga pertunjukan gagal, jadi Aki ku minta
menggantikan dalangnya, apa aki bisa?” ki Waskito menerawang, sebentar
memandangi orang yang datang.
“Di mana daerahnya?” tanya ki Waskito.
“Di desa Keling.”
“Desa Keling kedung ombo?”
“Di
mana itu tempatnya?” tanya ki Waskito, setelah mikar mikir desa yang
disebutkan tak ada dalam ingatannya, aku saja yang wira wiri, biasa
nagih hutang juga gak tau di mana ada desa seperti itu di ingatanku juga
tak ku temukan.
“Berapa sampean minta, akan ku bayar ki, sebutkan saja…” kata orang itu.
“Ya… ya… saya akan siap, lalu bagaimana saya kesana, karena kok saya asing dengan nama desa itu?” tanya ki Waskito.
“Sekarang juga barengan saya ki, saya antar.”
“Oh
ya.. ya.. saya siap siap dulu.. silahkan sampean duduk, minum dulu..”
jawab ki Waskito sembari mempersilahkan tamunya yang terus berdiri itu,
ku lihat orang itu tinggi besar, dengan pakaian hitam seperti pakaian
jawara orang jaman dahulu.
“Tidak ki, biar saya menunggu di luar saja..” kata orang itu tanpa menunggu persetujuan dan berbalik keluar rumah.”
Setelah
orang itu keluar rumah, Junaidi pamit ke kamar kecil, tak tau kenapa
dia ingin kencing, sementara tinggal ki Waskito duduk bersama saya.
Ku
lihat kerutan yang dalam di jidat ki Waskito, dia seperti memikirkan
hal yang sangat berat nampak dia mengelus-elus kumisnya dan jenggotnya
yang sudah sebagian memutih.
“Pak
Sutono, bagaimana ini, anak ikut saja denganku ya, untuk ikut ke orang
yang sedang hajatan mantu itu.” kata Ki Waskito padaku.
“Wah ramai tentu saya mau ki, wong saya juga tidak buru-buru, sekalian nyari hiburan.” jawabku enteng.
“Eh tapi nanti kalau di sana kalau diberi makan, jangan dimakan..” kata ki Waskito
“Lhoh kenapa pak?”
“Ya pokoknya jangan dimakan…, aku ganti baju dulu.” kata Ki Waskito sambil beranjak dari tempat duduknya.
Sebentar
kemudian Junaidi telah kembali dari kamar kecil, Junaidi adalah teman
akrabku kemana aku berada selalu saja ada dia menemaniku.
“Jun…
ini Ki Waskito mengajak kita untuk ikut menemaninya ndalang di daerah
Keling kedung ombo, bagaimana Jun?” tanyaku pada Junaidi yang menyalakan
rokoknya.
“Wah kebetulan kang, kita
ada hiburan gratis, siapa tau di desa itu ada ceweknya yang cantik, dan
nyantol ke kita, heheheh… ” jawab Junaidi sambil menyalakan rokoknya.
Sebentar
kemudian Ki Waskito sudah keluar dari dalam rumah dengan pakaian ala
dalang plus keris yang terselip di pinggangnya bagian belakang. Dan kami
segera berangkat, rupanya di luar ada kereta kuda, yang di atas kaisnya
sudah ada orang yang tadi menjadi tamu, tanpa banyak bicara kami segera
naik di kereta kuda, atau dokar, di Pekalongan disebut gelinding, juga
tak ada yang aneh, atau saya sendiri yang tak tanggap, yang menurut saya
aneh, kok sepengetahuan saya jalan di daerahnya Ki Waskito itu gak
baik, tapi ini selama perjalanan seperti kereta berjalan dengan mulus
tanpa ada goncangan, seperti layaknya mobil mewah saja, sebentar
perjalanan sudah sampai di tempat keramaian di mana pertunjukan wayang
di adakan… kami segera turun, dan berjalan di antara orang ramai untuk
mencari tempat duduk, sementara Ki Waskito sudah diminta maju ke depan
untuk memulai tampil sebagai dalang, saya dan Junaidi duduk di antara
para tamu, di atas meja aneka makanan tersedia, sangat lezat-lezat dan
mengugah selera, aku duduk terpisah dengan Junaidi karena biasa kami
berdua kan masih muda jadi mencari perempuan di area pertunjukan,
melihat makanan yang lezat rasanya ingin makan, tapi saya ingat pesan ki
Waskito kalau ndak boleh makan makanan yang disajikan, wah saya sampai lupa memberi tau pada Junaidi, semoga saja tak terjadi apa-apa…, sampai pertunjukan wayang selesai.
Mata
terkantuk-kantuk, perut lapar, karena tak boleh makan makanan yang di
sajikan, akhirnya pertunjukan wayang usai, akan pulang kami dibekali
aneka makanan dan juga diberi amplop berisi uang, waktu mau pulang, kami
bertiga dibilangi supaya pulang sendiri, dan disuruh jalan saja lurus
jangan nengok, aneh baru beberapa langkah berjalan kami keluar dari
dalam hutan Roban, bertemu dengan orang kampung yang sedang buang hajad
di pinggir hutan, yang menatap kami dengan pandangan heran, apalagi
melihat ki Waskito yang berpakaian dalang.
“Wah
ini dari alam lelembut to ki? Pantesan semalem ramai dalam hutan ada
suara pagelaran wayang…” kata orang itu ditujukan kepada ki Waskito.
“Ini hutan mana?” tanya ki Waskito.
“Ya ini alas roban to ki..”
“Walah benar juga perkiraanku..” dengus ki Waskito yang segera berjalan di antara pepohonan, sambil kami berdua ikuti.
“Waduh
ki perutku mual…!” suara Junaidi, disusul dengan muntah-muntah, dan
yang dimuntahkan adalah beraneka ulat, singgat, kelabang, dan aneka
binatang menjijikkan, ada cacing, kecoak, ada yang dalam keadaan mati
ada juga yang masih hidup. Saya segera membuka daun pisang pembungkus
makanan yang diberikan pada saya, dan isinya tak beda dengan yang
dimuntahkan Junaidi, segera saya campakkan.
Sementara ki Waskito mengurut-urut punggung Juanaidi agar apa yang dimakan bisa dimuntahkan semua, wajah Junaidi pucat pasi.
“Sampean gak ikut makan kan dek Sutono?” tanya ki Waskito.
“Tidak
ki…, maaf ki saya lupa mengingatkan pada Juanidi, sehingga dia makan di
sana tadi, jadi semalam itu kita di alam lelembut ya ki?”
“Ya begitulah… coba keluarkan uang yang diberikan padamu.” kata ki Waskito.
Saya
segera mengeluarkan uang yang diberikan padaku, ternyata hanya daun
kering, segera ku buang, sungguh pengalaman yang aneh, kami akan selalu
mengingat pengalaman itu…..” pak sutono mengakhiri ceritanya.
“Aneh juga sampean pengalamannya pak..” kataku…
“Ya
pengalaman orang itu aneh-aneh pak yai..” jawab pak Sutono, “Saya juga
pernah ketika menjual bubur kacang hijau, karena jualannya malam, jadi
banyak juga bahkan sering pas jualan ada saja misal kuntilanak, yang
menyerupai manusia yang ikut beli.”
“La sampean ndak takut pak, ada kuntilanak beli bubur kacang hijau yang sampean jual?”
“Ya gak takut lah wong ndak tau..”
“Lhoh… katanya tadi ada kuntilanak yang beli, kok gak tau?”
“Ya taunya kan setelah pulang, banyak uang yang jadi daun kering.”
“Ooo begitu rupanya…?”
“Ya pak yai..”
“Ya
kalau dengan memedi saya ndak begitu takut pak yai, kalau lebih takut
itu sama orang jahat, mereka kan bisa membunuh orang beneran.”
“Memangnya pernah punya pengalaman itu pak?”
“Pernah juga pak yai..”
“Bagaimana itu pengalamannya?”
“Begini ceritanya, saya pernah bekerja di pengantaran barang, jadi sopir truk, Jakarta
Surabaya, untuk mengantarkan barang antaran, saat itu tahun 86, di mana
Alas Roban masih banyak bajing loncat, dan pas kebetulan mobil truk
yang saya bawa diserang bajing loncat, saya tidak berdaya, dan digiring
ke dalam hutan, barang kiriman saya dipindah ke truk mereka, dan saya
mau dibunuh, akan dilemparkan ke dalam jurang, saya sudah pasrah, wong
diikat dan diseret ke dalam hutan, ada grombolan bajing loncat, yang
ditugasi membunuh saya, ketika saya mau dibunuh, kok kalau Allah belum
menghendaki mati ada saja cara Allah menyelamatkan saya.”
“Bagaimana itu kok bapak bisa selamat?” tanyaku penasaran.
“Ya
saat itu saya mau dipenggal, dan mayat saya mau dilempar ke dalam
jurang, tapi ketika pedang mau diayunkan ke kepala saya, ada salah
seorang yang menahan.”
“Ee sebentar…
sebentar dulu Jo..! Kok saya seperti pernah melihat orang ini.” kata
orang itu sambil menyenterkan senter yang dibawanya ke arah saya.
“Wah
benar saja ini kang Sunoto, tetanggaku Jo..” kata orang yang
mengarahkan cahaya senternya ke arahku, sambil mengangkat wajahku yang
menunduk pasrah.
“Dah lepaskan lepaskan…” kata bajing loncat yang mengenaliku, yang wajahnya masih tertutup dengan kain penutup wajah.
“Ini saya kang, tetanggamu.. Wugiri.” kata pemuda di depanku yang membuka penutup wajahnya.
Aku hanya bengong “Wah kok bisa begitu kamu Wu? kok jadi garong begitu?”
“Ya tuntutan utang kang..” jawab Wugiri.
“Ya
memang kalau Allah mau menyelamatkan orang ya akan diselamatkan, misal
kok tetanggane sampean itu kok gak jadi salah satu bajing loncatnya,
mungkin nyawane sampean juga sudah pergi ke akherat, jadi segala sesuatu
itu disyukuri saja, juga ndak perlu menyalahkan Wugiri itu, bisa saja
dia awalnya menanggung banyak hutang, lantas kemudian masuk menjadi
group bajing loncat, sebenarnya maksud Allah adalah agar dia dijadikan
Allah jalan waktu sampean dirampok, maka sampean bisa diselamatkan,
Allah itu mengatur segala sesuatu dengan rantai berantai, sambung
menyambung.” jelasku.
“Iya kyai, saya
selama ini malah menyalahkan Wugiri, kenapa kok dia jadi rampok
begitu…. iya benar juga kata pak kyai, kalau Wugiri tak jadi perampok,
bisa saja sekarang saya sudah mati.” kata Sutono, matanya menerawang
jauh, mungkin membayangkan Wugiri yang telah menolongnya, tapi malah
selalu dia salahkan karena telah menjadi perampok.
Pak
Sutono dan anaknya beberapa hari tidur di majlis, sehingga banyak waktu
dia pakai mengobrol denganku, selama ku lihat di majlisku juga tak
pernah ku lihat pak Sutono menjalankan sholat, tapi aku biarkan saja,
walau banyak komplain dari para jamaah dzikirku, dan timbul antipati
dari mereka, rasa kasihan yang awalnya ada pelan-pelan terkikis, rasa
simpati juga mulai tipis melihat anak bapak itu tak melakukan sholat,
tapi ku biarkan saja, setiap orang punya keyakinan masing masing.
“Dzikir di majlis ini dilakukan kapan saja pak kyai?” tanya pak Sutono di sela pembicaraan kami berdua.
“Tiap
hari ada, tapi kalau mau ikut yang banyak orang ikut saja di malam
minggu legi sama minggu kliwon..” jawabku dengan setengah menjelaskan.
“Kok malam minggu legi sama malam minggu kliwon? Seperti ada unsur kejawennya?” tanyanya dengan enteng.
“Itu
hanya penempatan waktu, untuk mempermudah saja, sebab cabangnya yang
banyak, sehingga agar tidak bertabrakan dengan jadwal dzikir di cabang
yang lain, dan bila dikehendaki kumpul bersama di majlis pusat, semua
cabang tak meninggalkan jadwal dzikirnya.” jelasku.
“Ooo tak berkaitan dengan itungan jawa?”
“Tidak.”
“Saya
dan teman-teman saya kemaren berembug, itu teman-teman yang kemaren
menghantar kami kesini, mereka ingin ngajak kita ikut majlis dzikir ini,
apa diperbolehkan?”
“Ya boleh saja, silahkan saja datang…, waktu ada jadwal dzikir.”
“Apa syaratnya?”
“Ndak
pakai syarat, pakai saja pakaian putih kalau punya, kalau ndak punya
juga gak usah pakaian putih, pakai pakaian biasa aja asal rapi, dan bawa
air untuk diisi doa, nanti untuk keperluan masing-masing.”
“Itu apa air bisa untuk keperluan kami yang kebanyakan jualan bubur kacang hijau.”
“Ya
insaAllah akan berkah dan laris jualannya, dipakai saja nanti
dibuktikan sendiri, kalau saya bicara muluk-muluk nanti juga apa gunanya
kalau ternyata tak ada efeknya apa-apa, kan sama saja saya menipu, jadi
ikut saja dzikir, bawa air, nanti airnya dido’akan sendiri untuk agar
jualan bubur kacang hijaunya laris, nah dibuktikan sendiri, nanti laris
apa gak?”
“Apa dipungut biaya?”
“Wah endak sama sekali, sama sekali gak pakai biaya, malah di sini yang ikut dzikir itu dijuluki BAJINGAN.”
“Lhoh kok dijuluki bajingan pak kyai?”
“Iya soalnya BAr ngaJI maNGAN, itu bahasa jawa, artinya habis ngaji langsung makan.”
“Ooo begitu…”
“Jadi boleh ya kami ikut?”
“Boleh.”
jawabku singkat, ya karena aku juga tau, pembicaraan kami hanya basa
basi semata, seperti orang gak ada bahan pembicaraan jadi bicara yang
bisa dibicarakan, karena pak Sutono juga tak pernah datang pada
pertemuan pengajian sama sekali, itu hal yang wajar, dan mengajak
seseorang pada kebaikan juga tak semudah itu, hidayah itu hanya Allah
kehendaki pada orang yang Allah kehendaki mendapatkannya, kadang jauh
juga dapat kadang dekat juga tak dapat.
Yang
kadang aneh malah jamaah dzikirku kadang yang datang dari Jakarta,
Bogor, Sukabumi, Bandung, Purwokerto, Semarang, Jogya Solo, Surabaya,
tapi malah tetangga kanan kiri jarang ada yang mau ikut, nah itu yang
kadang aku sendiri merasa aneh.
“Maaf pak yai, saya boleh bertanya?”
“Boleh… bukannya dari tadi kita tanya jawab?”
“Ini soal istri saya.”
“Kenapa dengan istrinya?”
“Istri saya itu suka kerasukan juga dari dulu.”
“Maksudnya pak?”
“Ya
istri saya itu suka sekali kerasukan, kalau anak saya ini yang
kerasukan, orang 5 masih kuat memeganginya, tapi kalau istri saya yang
kerasukan, orang 8 juga masih dilempar.”
“Kok kuat begitu..?”
“Iya kalau kerasukan itu suka menggereng-gereng seperti macan.”
“Begitu ya… coba dibawa kesini.”
“Sudah saya ajak kesini kyai, tapi gak mau…”
“Apa istrinya punya ilmu, maksudku pernah mempelajari ilmu yang aneh?”
“Iya kyai…. ayah istri saya kan dukun, yang biasa juga mengobati orang.”
“Ooo la kok kenapa ndak mengobati anaknya sampean yang mau dikorbankan orang yang mengambil pesugihan.”
“Sudah berusaha tapi langsung kalah, dan sakit, jadi tak berani lagi,”
“Apa yang dipelajari istri sampean?” tanyaku.
“Itu kyai, ini menurut kyai benar apa salah?”
“Bagaimana itu?”
“Saya
biasanya kalau sama istri, misalkan saja kami mau pulang ke Cirebon,
sedang kami sama sekali ndak punya ongkos, kami tetap saja naik bus, dan
nanti di bus mantra istri saya dibaca, dan anehnya kami kemana saja tak
akan ditarik ongkos.”
“Wah itu ya salah, gak benar seperti itu.”
“Tapi kami kepepet saja, tak kami pakai tiap hari kok kyai.”
“Ya kalau tiap harinya gak punya ongkos dan tiap hari kepepet ya kan dipakai tiap hari, malah tiap jam..”
“Iya juga ya, hehehhe..”
“Itu
kan kasihan sopir busnya gak dapat uang, la misal semua penumpang itu
punya kebisaan seperti istri sampean, la semua bus di Indonesia akhirnya
gulung tikar, gak ada yang operasi, sebab gak ada yang dapat uang,
padahal sopir bus itu juga kondekturnya kan juga punya anak bini yang
harus dihidupi, ini misal saja sampean, jualan bubur kacang hijau, la
semua yang beli memakai ilmu kayak ilmu yang dipakai istri sampean, apa
sampean gak bubar sehari dua hari jualan, soale bubur habis, tapi ndak
ada sama sekali uang yang masuk, semua makan gratis.”
“Jadi ndak boleh ya pakai ilmu seperti itu?”
“Ya boleh gak sampean bubur kacang hijuanya dimakan banyak orang tapi gratis semua?”
“Ya gak boleh, nanti bagaimana makan anak istri saya.”
“Nah
tau begitu, jadi sebenarnya kebaikan itu sangat mudah mempelajarinya,
orang punya budi pekerti mulia dan baik itu mudah, lihat saja, kalau
orang lain itu melakukan sesuatu perbuatan pada kita, kita gak mau, maka
jangan lakukan perbuatan itu pada orang lain, ilmu itu bermanfaat kalau
bisa bermanfaat untuk orang lain, apapun ilmu kok bermanfaat untuk
banyak orang, maka itu dikatakan ilmu manfaat, kalau merugikan orang
lain, sekalipun ilmu, ya tidak dikatakan bermanfaat, namanya merugikan,
dan merugikan orang lain itu tetap dicatat oleh Allah, akan dimintai
pertanggung jawaban, sekecil apapun, la kok mempelajari sesuatu kok yang
nantinya akan menyusahkan diri sendiri, kalau mempelajari sesuatu itu
kalau menurutku yang menguntungkan di dunia juga di akherat, sekalipun
menguntungkan di dunia, tapi kok merugikan di akherat, ya tetap saja itu
namanya merugikan diri sendiri, misal pinter korupsi, sampai gak
ketangkep, atau jagoan nyopet, tapi gak pernah ketangkep, atau jago
menghamili anak orang dan gak pernah ketangkep, ya tetap saja nanti ada
hukumnya Allah yang akan menghisap, memperhitungkan, malah di sana lebih
hebat hukumannya,” jelasku panjang lebar, gak tau paham apa enggak.
Lanjutku, karena melihat pak Sutono terdiam,
“Sbenarnya apa saja keilmuan yang bersandarnya pada selain Allah itu merugikan, misal ilmu yang memakai khodam jin.”
“Maksudnya memakai khodam jin pak? Soale saya pernah mengikuti gemblengan, kata gurunya itu khodamnya malaikat.”
“Ya memakai tidak khodam jin bisa dilihat dari bentuk menjalaninya.”
“Ada
berbagai ilmu, ilmu itu ada yang dipelajari ada juga yang diberikan
langsung oleh Allah, ilmu yang dipelajari itu berasal dari hasil laku
manusia atau warisan dari bangsa jin, segala ilmu yang dipelajari untuk
memperoleh kelebihan atau kesaktian terntentu itu semua berkhodam jin,
entah ilmu hikmah, ilmu kejawen, ilmu karuhun, aji-aji kesaktian…”
“Lhoh
masak begitu to pak kyai? Apa ndak khodamnya malaikat juga ada? Misal
saya itu berdzikir dari asma Allah apa saya juga dapatnya khodam jin,
bukan malaikat?”
“Nah itulah yang
perlu dipahami dan dimengerti, bisa jadi malah syaitan yang masuk
menjadi khodam kita tanpa kita sendiri tau dan memahaminya, malah
mengira syaitan itu adalah pertolongan Allah, “Sesungguhnya setan masuk
(mengalir) ke dalam tubuh anak Adam mengikuti aliran darahnya, maka
sempitkanlah jalan masuknya dengan puasa”.”
Setan
jin menguasai manusia dengan cara mengendarai nafsu syahwatnya.
Sedangkan urat darah dijadikan jalan untuk masuk dalam hati, hal itu
bertujuan supaya dari hati itu setan dapat mengendalikan hidup manusia.
Supaya manusia terhindar dari tipu daya setan, maka manusia harus mampu
menjaga dan mengendalikan nafsu syahwatnya, padahal manusia dilarang
membunuh nafsu syahwat itu, karena dengan nafsu syahwat manusia tumbuh
dan hidup sehat, mengembangkan keturunan, bahkan menolong untuk
menjalankan ibadah.
Dengan
melaksanakan ibadah puasa secara teratur dan istiqomah, di samping dapat
menyempitkan jalan masuk setan dalam tubuh manusia, juga manusia dapat
menguasai nafsu syahwatnya sendiri, sehingga manusia dapat terjaga dari
tipudaya setan. Itulah hakekat mujahadah. Jadi mujahadah adalah
perwujudan pelaksanaan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya secara
keseluruhan, baik dengan puasa, shalat maupun dzikir. Mujahadah itu
merupakan sarana yang sangat efektif bagi manusia untuk mengendalikan
nafsu syahwat dan sekaligus untuk menolak setan. Allah s.w.t berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa, bila mereka ditimpa was-was dari setan,
mereka berdzikir kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat”.
(QS.al-A’raaf.7/201)
Yang dimaksud
dengan lafad “Tadzakkaruu” ialah, melaksanakan dzikir dan wirid-wirid
yang sudah diistiqamahkan, sedangkan yang dimaksud “Mubshiruun”, adalah
melihat. Maka itu berarti, ketika hijab-hijab hati manusia sudah
dihapuskan sebagai buah dzikir yang dijalani, maka sorot matahati
manusia menjadi tajam dan tembus pandang.
Jadi,
berdzikir kepada Allah s.w.t yang dilaksanakan dengan dasar Takwa
kepada-Nya, di samping dapat menolak setan, juga bisa menjadikan hati
seorang hamba cemerlang, karena hati itu telah dipenuhi Nur
ma’rifatullah. Selanjutnya, ketika manusia telah berhasil menolak setan
Jin, maka khodamnya yang asalnya Jin akan kembali berganti menjadi
golongan malaikat.
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada
mereka (dengan mengatakan) “Janganlah kamu merasa takut janganlah kamu
merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah
dijanjikan Allah kepadamu” (30) Kamilah pelindung-pelindungmu di dalam
kehidupan di dunia maupun di akherat”. (QS. Fushilat; 41/30-31)
Firman
Allah s.w.t : “Kami adalah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan di
dunia maupun di akherat”, itu menunjukkan bahwa malaikat-malaikat yang
diturunkan Allah s.w.t kepada orang yang istiqamah tersebut adalah untuk
dijadikan khodam-khodam baginya.
Jadi,
bagi pengembara-pengembara di jalan Allah, kalau pengembaraan yang
dilakukan benar dan pas jalannya, maka mereka akan mendapatkan
khodam-khodam malaikat. Seandainya orang yang mempunyai khodam Malaikat
itu disebut wali, maka mereka adalah waliyullah. Adapun pengembara yang
pas dengan jalan yang kedua, yaitu jalan hawa nafsunya, maka mereka akan
mendapatkan khodam Jin. Apabila khodam jin itu ternyata setan maka
pengembara itu dinamakan walinya setan. Jadi Wali itu ada dua (1)
Auliyaaur-Rohmaan (Wali-walinya Allah), dan (2) Auliyaausy-Syayaathiin
(Walinya setan). Allah s.w.t menegaskan dengan firman-Nya:
“Dan
orang-orang yang tidak percaya, Wali-walinya adalah setan yang
mengeluarkan dari Nur kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS.al-Baqoroh.2/257)
“Sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan sebagai Wali-wali bagi orang yang tidak percaya.“ (QS. Al-A’raaf; 7/27)
Seorang
pengembara di jalan Allah, baik dengan dzikir maupun wirid, mujahadah
maupun riyadlah lelaku, kadang-kadang dengan melaksanakan wirid-wirid
khusus di tempat yang khusus pula, perbuatan itu mereka lakukan
sekaligus dengan tujuan untuk berburu khodam-khodam yang diingini.
Khodam-khodam tersebut dicari dari rahasia ayat-ayat yang dibaca.
Semisal mereka membaca ayat kursi sebanyak seratus ribu dalam sehari
semalam, dengan ritual tersebut mereka berharap mendapatkan khodamnya
ayat kursi.
Sebagai pemburu khodam,
mereka juga kadang-kadang mendatangi tempat-tempat yang terpencil, di
kuburan-kuburan yang dikeramatkan, di dalam gua di tengah hutan
belantara. Mereka mengira khodam itu bisa diburu di tempat-tempat
seperti itu. Kalau dengan itu ternyata mereka mendapatkan khodam yang
diingini, maka boleh jadi mereka justru terkena tipudaya setan Jin.
Artinya, bukan Jin dan bukan Malaikat yang telah menjadi khodam mereka,
akan tetapi sebaliknya, tanpa disadari sesungguhnya mereka sendiri yang
menjadi khodam Jin yang sudah didapatkan itu. Akibat dari itu, bukan
manusia yang dilayani Jin, tapi merekalah yang akan menjadi pelayan Jin
dengan selalu setia memberikan sesaji kepadanya.
Sesaji-sesaji
itu diberikan sesuai yang dikehendaki oleh khodam Jin tersebut. Memberi
makan kepadanya, dengan kembang telon atau membakar kemenyan serta apa
saja sesuai yang diminta oleh khodam-khodam tersebut, bahkan dengan
melarungkan sesajen di tengah laut dan memberikan tumbal. Mengapa hal
tersebut harus dilakukan, karena apabila itu tidak dilaksanakan, maka
khodam Jin itu akan pergi dan tidak mau membantunya lagi. Apabila
perbuatan seperti itu dilakukan, berarti saat itu manusia telah berbuat
syirik kepada Allah s.w.t. Kita berlindung kepada Allah s.w.t dari
godaan setan yang terkutuk.
Memang
yang dimaksud khodam adalah “rahasia bacaan” dari wirid-wirid yang
didawamkan manusia. Namun, apabila dengan wirid-wirid itu kemudian
manusia mendapatkan khodam, maka khodam tersebut hanya didatangkan
sebagai anugerah Allah s.w.t dengan proses yang diatur oleh-Nya. Khodam
itu didatangkan dengan izin-Nya, sebagai buah ibadah yang ikhlas
semata-mata karena pengabdian kepada-Nya, bukan dihasilkan karena
sengaja diusahakan untuk mendapatkan khodam.
Apabila
khodam-khodam itu diburu, kemudian orang mendapatkan, yang pasti khodam
itu bukan datang dari sumber yang diridlai Allah s.w.t, walaupun datang
dengan izin-Nya pula. Sebab, tanda-tanda sesuatu yang datangnya dari
ridho Allah, di samping datang dari arah yang tidak disangka-sangka,
bentuk dan kondisi pemberian itu juga tidak seperti yang diperkiraan
oleh manusia. Demikianlah yang dinyatakan Allah s.w.t:
“Dan
barangsiapa bertakwa kepada Allah. Allah akan menjadikan jalan keluar
baginya (untuk menyelesaikan urusannya) (2) Dan memberikan rizki
kepadanya dari arah yang tidak terduga.” (QS. ath-Tholaq; 65/2-3)
Khodam-khodam
tersebut didatangkan Allah s.w.t sesuai yang dikehendaki-Nya, dalam
bentuk dan keadaan yang dikehendaki-Nya pula, bukan mengikuti kehendak
hamba-Nya. Bahkan juga tidak dengan sebab apa-apa, tidak sebab ibadah
dan mujahadah yang dijalani seorang hamba, tetapi semata sebab
kehendakNya. Hanya saja, ketika Allah sudah menyatakan janji maka Dia
tidak akan mengingkari janji-janji-Nya.
Di
luar itu, orang-orang yang dengan sengaja menjalani laku untuk
memperoleh keilmuan itu sudah dipastikan akan mendapat khodam jin, orang
yang menjalankan laku dengan keikhlasan menjalani saja masih akan
didatangi jin, untuk sekedar ingin menjadi khodam, apalagi yang
menjalankan lelaku yang ada kehendak maksud tujuan pada selain Allah,
yaitu kesaktian, kelebihan dalam hal tertentu, pasti jin sudah akan
mendatangi, cuma orang yang menjalankan lelaku secara ikhlas, ketika
dirinya didatangi jin untuk menolong membantunya, lantas dia tidak
perduli, maka dirinya akan naik ke tingkatan level yang lebih tinggi,
lantas para malaikat akan didatangkan Allah untuk menjadi khodamnya,
dengan menjalankan apa yang menjadi kehendak dan keperluan orang itu,
ketika orang itu tidak perduli, maka dia akan naik ke level yang lebih
tinggi lagi sampai dirinya itu diijabah langsung oleh Allah tanpa harus
dengan perantara atau sebab yang menjadikan hal itu terjadi.
“Jadi walau misal saya menjalankan wirid atau menjalankan laku dzikir itu tetap saja khodamnya adalah dari jin?”
“Ya itulah proses yang sudah ku sebutkan.”
“Lalu bagaimana mengetahui khodam itu jin atau bukan?”
“Kalau
jin itu jelas, mudah diketahui, sebab jin itu juga punya nafsu,
kehendak dan kepentingan, sekalipun dia itu adalah jin muslim.”
“Bagaimana cara mengetahuinya?”
“Ya
kan kalau amalan itu memakai ada kemenyan, kembang, sesajen, penyediaan
minyak wangi atau ugo rampe persyaratan, jelas itu tak bisa dipungkiri
itu adalah unsur khodam jin.” jelasku.
“Lalu apa menulis rajah rajah, itu juga sama?”
“Ya sama itu juga jin, cuma bukan jin penghuni bumi ini, tapi dari jin penghuni tuju bintang.”
“Jadi bukan malaikat?”
“Bukan…,
malaikat itu hanya tunduk kepada Allah, tidak tunduk kepada manusia
manapun, jadi khodam malaikat misal punya itu dari yang Allah
anugerahkan, bukan dari belajar ilmu tertentu, dan yang jelas malaikat
itu tak doyan makan, juga tak doyan sesembahan, atau sesajen apapun, la
kalau malaikat itu doyan makan, akan terjadi cerita aneh, karena ada
malaikat maut yang nongkrong di warung bakso, ketika mau mencabut nyawa
seseorang yang rumahnya dekat warung bakso, karena mencium bau bakso
jadi ngiler, dan ingin mencicipi, ndak pernah kan mendengar cerita
seperti itu?”
“Wah kyai bisa saja…”
“Lalu bagaimana dengan orang yang mengamalkan hizib? dan dzikir yang macem-macem, apa juga khodamnya khodam jin?”
“Ya
itu tadi, awalnya seseorang itu akan tetap didatangi khodam jin,
sekalipun orang tarekat juga sama, yang menjalankan amaliyah thoreqoh,
juga akan didatangi khodam jin, ya pertama untuk menjadi khodam kita,
nah kita di saat itu kepincut tidak?”
“Wah kalau begitu ya harus hati-hati, dan sulit juga membedakan mana yang khodam malaikat atau khodam jin.”
“Makanya
sebaiknya menjalankan lelaku mendekatkan diri kepada Allah itu butuh
guru pembimbing, sebagaimana orang mau ke Jakarta naik bus butuh sopir
bus yang sudah tau jalannya, sehingga orang tak salah jalan, dan kesasar
kemana-mana, seorang sopir itu tak harus orang hebat, asal dia sudah
hafal jalannya karena sudah biasa melewatinya, sekalipun seorang
penumpang lebih pintar menyetir malah sebagai pilot pesawat, kalau dia
tak tau jalan yang dituju, ya harus tetap jadi penumpang, ndak usah
ngeyel jadi sopir, karena merasa pinter nyetir, jika naik bus juga harus
mau dibawa belok kanan atau ke kiri oleh sopir, jangan komplain, karena
bus dibelokkan ke kanan, atau bus dibelokkan ke kiri. Seorang guru
pembimbing spiritual itu tak perlu orang hebat atau sakti mandraguna,
asal orang itu sudah hafal jalan dan biasa melewatinya, maka sudah
pantas dijadikan sopir.”
Ku lihat pak Sutono sudah ngantuk… ku suruh saja dia tidur.
0 komentar:
Silahkan Komentar Tapi Yang Sopan, Kami Pasti Segan