KITAB PUASA
Kitab Puasa
Bab 1: Wajibnya
Puasa Ramadhan Dan Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa."(al-Baqarah: 183)
917. Ibnu Umar r.a.
berkata, "Nabi puasa pada hari Asyura dan beliau memerintahkan supaya orang
berpuasa padanya." (Dalam satu riwayat: Ibnu Umar berkata, 'Pada hari Asyura itu
orang-orang jahiliah biasa berpuasa 5/154). Setelah puasa Ramadhan diwajibkan,
ditinggalkannya puasa Asyura.' (Dan, dalam satu riwayat: Ibnu Umar berkata,
'Orang yang mau berpuasa, ia berpuasa; dan barangsiapa yang tidak hendak
berpuasa, maka dia tidak berpuasa.') Biasanya Abdullah (Ibnu Umar) tidak puasa
pada hari itu, kecuali kalau bertepatan dengan hari yang ia biasa berpuasa pada
hari itu."
Bab 2: Keutamaan Puasa
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abu Hurairah
yang akan disebutkan pada '9 - BAB'.")
Bab 3: Puasa Itu Adalah Kafarat (Penghapus Dosa)
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Hudzaifah yang
tertera pada nomor 293 di muka.")
Bab 4: Pintu
Rayyan Itu Khusus Untuk Orang-Orang yang Berpuasa
918. Sahl r.a.
mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya di dalam surga terdapat
(delapan pintu. Di sana 4/88) ada pintu yang disebut Rayyan, yang besok pada
hari kiamat akan dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa. Tidak seorang selain
mereka yang masuk lewat pintu itu. Dikatakan, 'Dimanakah orang-orang yang
berpuasa?' Lalu mereka berdiri, tidak ada seorang pun selain mereka yang masuk
darinya. Apabila mereka telah masuk, maka pintu itu ditutup. Sehingga, tidak ada
seorang pun yang masuk darinya."
919. Abu Hurairah
r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang memberi nafkah dua
istri (dengan apa pun 4/193) di jalan Allah, maka ia akan dipanggil dari
pintu-pintu surga, 'Wahai hamba Allah, ini lebih baik.' (Dan dalam satu riwayat:
Ia akan dipanggil oleh para penjaga surga, yakni oleh tiap-tiap penjaga pintu
surga, 'Hai kemarilah.' 2/213). Barangsiapa yang ahli shalat, maka ia dipanggil
dari pintu shalat. Barangsiapa yang ahli jihad, maka ia dipanggil dari pintu
jihad. Barangsiapa yang ahli puasa, maka ia dipanggil dari (pintu puasa dan)
pintu Rayyan. Dan, barangsiapa yang ahli sedekah, maka ia dipanggil dari pintu
sedekah." Abu Bakar berkata, "(Tebusan) engkau adalah dengan ayah dan ibuku,
wahai Rasulullah. Apakah ada keperluan bagi yang dipanggil dari seluruh pintu
itu? Apakah ada orang yang dipanggil dari seluruh pintu itu?" (Dalam satu
riwayat: "Wahai Rasulullah, itu yang tidak binasa?") Beliau bersabda, "Ya, dan
aku berharap engkau termasuk golongan mereka."
Bab 5: Apakah Boleh Disebut Ramadhan Saja ataukah Bulan Ramadhan? Dan, Orang yang Berpendapat bahwa Hal Itu Sebagai Kelonggaran
Nabi bersabda,
"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan."[1]
Beliau juga pernah,
"Janganlah kamu semua mendahului Ramadhan (yakni sebelum tibanya)."[2]
920. Abu Hurairah
r.a. berkata, "Rasulullah bersabda, 'Apabila bulan Ramadhan datang, maka
pintu-pintu langit (dalam satu riwayat: pintu-pintu surga) dibuka, pintu-pintu
neraka ditutup, dan setan-setan dirantai."
Bab 6: Orang
yang Berpuasa Ramadhan Karena Iman dan Mengharapkan Pahala dari Allah Serta
Keikhlasan Niat
Aisyah r.a.
mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Orang-orang akan dibangkitkan dari
kuburnya sesuai dengan niatnya."[3]
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abu Hurairah
yang tertera pada nomor 26 di muka.")
Bab 7: Nabi
Paling Dermawan pada Bulan Ramadhan
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Abbas yang
tertera pada nomor 4 di muka.")
Bab 8: Orang
yang Tidak Meninggalkan Kata-kata Dusta dan Pengamalannya di Dalam
Puasa
921. Abu Hurairah
r.a. berkata, "Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa yang tidak meninggalkan
kata-kata dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan
makan dan minunmya.'"
Bab 9: Apakah
Seseorang Itu Perlu Mengucapkan, "Sesungguhnya Aku Ini Sedang Berpuasa", Jika Ia
Dicaci Maki?
922. Abu Hurairah
r.a, berkata, "Rasulullah bersabda, 'Allah berfirman, (dalam satu riwayat: dari
Nabi, beliau meriwayatkan dari Tuhanmu, Dia berfirman 8/212), "Setiap amal anak
Adam itu untuknya sendiri selain puasa, sesungguhnya puasa itu untuk Ku (dalam
satu riwayat: Tiap-tiap amalan memiliki kafarat, dan puasa itu adalah untuk Ku
8/212), dan Aku yang membalasnya. Puasa itu perisai. Apabila ada seseorang di
antaramu berpuasa pada suatu hari, maka janganlah berkata kotor dan jangan
berteriak-teriak (dan dalam satu riwayat: jangan bertindak bodoh 2/226). Jika
ada seseorang yang mencaci makinya atau memeranginya (mengajaknya bertengkar),
maka hendaklah ia mengatakan, 'Sesungguhnya saya sedang berpuasa.' (dua kali
2/226) Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, sungguh bau mulut
orang yang berpuasa di sisi Allah adalah lebih harum daripada bau kasturi. Bagi
orang yang berpuasa ada dua kegembiraan yang dirasakannya. Yaitu, apabila
berbuka, ia bergembira; dan apabila ia bertemu dengan Tuhannya, ia bergembira
karena puasanya itu."
Bab 10: Berpuasa
untuk Orang yang Takut Terjatuh dalam Perzinaan Kalau Membujang
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Mas'ud yang
tertera pada '67-AN-NIKAH / 2 - BAB'.")
Bab 11: Sabda Nabi, "Apabila kamu sudah melihat bulan sabit (1 Ramadhan), maka berpuasalah. Apabila kamu sudah melihat bulan sabit (1 Syawwal), maka berbukalah (jangan berpuasa)."[4]
Shilah berkata dari
Ammar, "Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang meragukan, maka sesungguhnya
dia telah melanggar ajaran Abul Qasim (Nabi)."[5]
923. Abdullah bin
Umar r.a. mengatakan bahwa Rasulullah pernah berbicara perihal Ramadhan. Beliau
bersabda, "Sebulan itu dua puluh sembilan malam. (Dalam satu riwayat: 'Sebulan
itu seperti ini dan ini', dan beliau menggenggam ibu jarinya pada kali yang
ketiga. Dalam riwayat lain: 'Sebulan itu seperti ini dan seperti ini dan seperti
ini', yakni tiga puluh hari. Kemudian beliau bersabda, 'Seperti ini dan seperti
ini dan seperti ini", yakni dua puluh sembilan hari. Beliau bersabda sekali tiga
puluh hari, dan sekali dua puluh sembilan hari. 6/78). Maka, janganlah kamu
berpuasa sehingga kamu melihat bulan sabit (tanggal 1 Ramadhan), dan janganlah
kamu berbuka sehingga kamu melihatnya (tanggal 1 Syawal). Jika bulan itu
tertutup atasmu, kira-kirakanlah bilangannya (buatlah perhitungan bagi
harinya)." (Dan dalam satu riwayat: "Maka, sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban
tiga puluh hari.")
924. Abu Hurairah r.a. berkata, "Nabi (Abul Qasim) bersabda, 'Berpuasalah bila kamu melihatnya (bulan sabit tanggal satu Ramadhan), dan berbukalah bila kamu melihatnya (bulan sabit tanggal 1 Syawal). Jika bulan itu tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Syaban tiga puluh hari.'"
925. Ummu Salamah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw meng-ila' sebagian istri beliau (dalam satu riwayat: bersumpah tidak akan mencampuri sebagian istri beliau 6/152) selama satu bulan. Ketika telah lewat dua puluh sembilan hari, beliau pergi kepada mereka pada waktu pagi atau sore. Maka, dikatakan kepada beliau, "(Wahai Nabiyyullah), sesungguhnya engkau bersumpah tidak akan memasuki (mereka) selama satu bulan?" Beliau bersabda, "Sesungguhnya satu bulan itu dua puluh sembilan hari."
Bab 12: Dua
Bulan Hari Raya Itu Tidak Berkurang[6]
Abu Abdillah (Imam
Bukhari) berkata, "Ishaq berkata, 'Jika ia kurang, maka ia sempurna.'"[7]
Muhammad berkata,
"Kedua bulan itu tentu tidak sama, mesti ada yang kurang."[8]
926. Abu Bakrah
r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Dua bulan tidak berkurang (secara
bersamaan), yaitu dua bulan hari raya, yaitu Ramadhan dan Dzulhijjah."
Bab 13: Sabda
Nabi, "Kami tidak dapat menulis dan menghisab (menghitung) bulan)."
927. Ibnu Umar r.a.
mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhya kami adalah umat yang ummi,
tidak dapat menulis dan menghisab (menghitung bulan). Sebulan itu demikian dan
demikian, yakni sekali waktu dua puluh sembilan hari, dan sekali waktu tiga
puluh hari."
Bab 14: Tidak
Boleh Mendahului Bulan Ramadhan dengan Puasa Sehari atau Dua Hari
928. Abu Hurairah
r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Jangan sekali-kali seseorang dari kamu
mendahului bulan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang
yang biasa berpuasa, maka berpuasalah hari itu."
Bab 15: Firman
Allah, "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri
kamu. Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni
kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka, sekarang campurilah mereka dan campurilah
apa yang telah ditetapkan Allah untukmu." (al-Baqarah: 187)
929. Al-Bara' r.a.
berkata, "Para sahabat Nabi Muhammad apabila ada seorang yang berpuasa, dan
datang waktu berbuka, tetapi ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak makan di
malam dan siang harinya sampai sore. Sesungguhnya Qais bin Shirmah al-Anshari
berpuasa. Ketika datang waktu berbuka, ia datang kepada istrinya, lalu berkata
kepadanya, 'Apakah kamu mempunyai makanan? Istrinya menjawab, 'Tidak, tetapi
saya berangkat untuk mencarikan (makanan) untukmu.' Pada siang harinya ia
bekerja, lalu tertidur. Kemudian istrinya datang kepadanya. Ketika istrinya
melihatnya, si istri berkata, 'Rugilah engkau.' Ketika tengah hari ia pingsan.
Kemudian hal itu diberitahukan kepada Nabi, lalu turun ayat ini, 'Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari puasa menggauli istrimu.' Maka, mereka bergembira, dan
turunlah ayat, 'Makan dan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari
benang hitam.'"
Bab 16: Firman
Allah, "Makan dan minumlah hingga jelas begimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam." (al-Baqarah:
187)
Dalam hal ini
terdapat riwayat al-Bara' dari Nabi saw..
930. Adi bin Hatim
r.a. berkata, "Ketika turun ayat, 'Sehingga jelas bagimu benang putih dari
benang hitam; saya sengaja mengambil tali hitam dan tali putih. Saya letakkan di
bawah bantalku dan saya lihat (sebagian 5/156) malam hari, maka tidak jelas
bagiku. Keesokan harinya saya datang kepada Rasulullah dan saya ceritakan hal
itu kepada beliau. Maka, beliau bersabda, 'Sesungguhnya bantalmu itu terlalu
panjang kalau benang putih dan benang hitam itu di bawah bantalmu!' (Dan dalam
satu riwayat beliau bersabda, 'Sesungguhnya lehermu terlalu panjang untuk
melihat kedua benang itu.' Kemudian beliau bersabda, Tidak demikian),
sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang hari.'"
931. Sahl bin Sa'ad berkata, "Diturunkan ayat, 'wakuluu wasyrabuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi' 'Makan dan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam;' dan belum turun lafal, 'minal fajri.' Maka, orang yang bermaksud hendak puasa mengikatkan benang putih dan benang hitam di kakinya. Ia senantiasa makan sehingga jelas kelihatan baginya kedua macam benang itu. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya, 'minal fajri 'yaitu fajar',' barulah mereka tahu bahwa yang dimaksudkan adalah malam dan siang."
Bab 17: Sabda Nabi, "Janganlah menghalang-halangi sahurmu azan yang diucapkan Bilal."
932 & 933. Ibnu
Umar dan Aisyah r.a. mengatakan bahwa Bilal biasa berazan pada malam hari. Maka,
Rasulullah bersabda, "Makanlah dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum
mengumandangkan azan. Karena Ibnu Ummi Maktum tidak berazan sebelum terbit
fajar." Al-Qasim berkata, "Antara azan keduanya tidak ada sesuatu (peristiwa)
melainkan yang ini naik, dan yang itu turun."
Bab 18:
Mengakhirkan Sahur[9]
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Sahl yang
tertera pada nomor 323 di muka.")
Bab 19: Kadar Waktu Antara Sahur dan Shalat Subuh
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas yang
tertera pada nomor 322 di muka.")
Bab 20:
Keberkahan Sahur, Tetapi Tidak Diwajibkan
Karena Nabi saw.
dan para sahabat beliau pernah melakukan puasa wishal (bersambung dua hari), dan
tidak disebut-sebut tentang sahur.[10]
934. Abdullah Ibnu
Umar r.a. mengatakan bahwa Nabi melakukan puasa wishal, lalu orang-orang
melakukan puasa wishal. Tetapi, kemudian mereka merasa keberatan, lalu dilarang
oleh beliau. Mereka berkata, 'Tetapi engkau melakukan puasa wishal
(terus-menerus)?" Beliau bersabda, "Aku tidak seperti kamu, aku senantiasa
(dalam satu riwayat: pada malam hari) diberi makan dan minum."
935. Anas bin Malik r.a. berkata, "Nabi bersabda, 'Makan sahurlah, sesungguhnya dalam sahur itu terdapat berkah.'"
Bab 21: Apabila
Berniat Puasa pada Siang Hari
Ummu Darda'
berkata, "Abud Darda' biasa bertanya, 'Apakah engkau mempunyai makanan?' Jika
kami jawab, 'Tidak', dia berkata, 'Kalau begitu, saya berpuasa hari
ini.'"[11]
Demikian pula yang
dilakukan oleh Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah.[12]
936. Salamah ibnul
Akwa' r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. mengutus seseorang untuk mengumumkan
kepada manusia pada hari Asyura, (dalam satu riwayat: Beliau bersabda kepada
seorang laki-laki dari suku Aslam, "Umumkanlah kepada kaummu atau kepada
masyarakat 8/136) bahwa orang yang sudah makan bolehlah ia meneruskannya atau
hendaklah ia berpuasa pada sisa harinya. Sedangkan, yang belum makan, maka
janganlah makan." (Dalam satu riwayat: "Hendaklah ia berpuasa, karena hari ini
adalah hari Asyura.")
Bab 22: Orang
yang Puasa Pagi-Pagi dalam Keadaan Junub (Menanggung Hadats Besar)
937&938. Abu
Bakar bin Abdur Rahman berkata, "Saya dan ayah ketika menemui Aisyah dan Ummu
Salamah. (Dalam satu riwayat: dari Abu Bakar bin Abdur Rahman, bahwa al-Harits
bin Hisyam bahwa ayahnya Abdur Rahman memberitahukan kepada Marwan) Aisyah dan
Ummu Salamah memberitahukan bahwa Rasulullah pernah memasuki waktu fajar sedang
beliau dalam keadaan junub setelah melakukan hubungan biologis (2/234) dengan
istrinya, bukan karena mimpi. Kemudian beliau mandi dan berpuasa." Marwan
berkata kepada Abdur Rahman bin Harits, "Aku bersumpah dengan nama Allah, bahwa
engkau harus mengkonfirmasikannya kepada Abu Hurairah." Marwan pada waktu itu
sedang berada di Madinah. Abu Bakar berkata, "Abdur Rahman tidak menyukai hal
itu. Kemudian kami ditakdirkan bertemu di Dzul Hulaifah, dan Abu Hurairah
mempunyai tanah di sana. Lalu Abdur Rahman berkata kepada Abu Hurairah, 'Saya
akan menyampaikan kepadamu suatu hal, yang seandainya Marwan tidak bersumpah
kepadaku mengenai hal ini, niscaya saya tidak akan mengemukakannya kepadamu.'
Lalu, Abdur Rahman menyebutkan perkataan Aisyah dan Ummu Salamah. Kemudian Abu
Hurairah berkata, 'Demikian pula yang diinformasikan al-Fadhl bin Abbas
kepadaku, sedangkan mereka (istri-istri Rasulullah) lebih mengetahui tentang hal
ini.'"
Hammam dan Ibnu
Abdillah bin Umar berkata dari Abu Hurairah, "Nabi menyuruh berbuka."[13]
Akan tetapi,
riwayat yang pertama itu lebih akurat sanadnya.[14]
Bab 23:
Memeluk[15] Istri Bagi Orang Yang Berpuasa
Aisyah berkata,
"Haram kemaluan istri bagi suami (ketika sedang berpuasa)."[16]
939. Aisyah r.a. berkata, "Nabi mencium dan menyentuh/memeluk (istri beliau) padahal beliau berpuasa. Beliau adalah orang yang paling menguasai di antaramu sekalian terhadap hasrat (seksual) nya."
Ibnu Abbas berkata,
"Ma-aarib, artinya hasrat."[17]
Thawus berkata,
"Ghairu ulil-irbah, maksudnya tidak mempunyai hasrat terhadap wanita."[18]
Bab 24: Mencium
Bagi Orang Yang Berpuasa
Jabir bin Zaid
berkata, "Jika seseorang memandang (wanita) lalu keluar spermanya, maka
hendaklah ia menyempurnakan puasanya."[19]
940. Aisyah r.a.
berkata, "Rasulullah pernah mencium salah seorang istri beliau, sedangkan beliau
berpuasa." Kemudian Aisyah tertawa.[20]
Bab 25: Mandinya
Orang yang Berpuasa
Ibnu Umar r. a.
pernah membasahi pakaiannya lalu mengenakannya, sedangkan dia berpuasa (karena
kehausan).[21]
Asy-Sya'bi pernah
masuk pemandian, sedangkan dia berpuasa.[22]
Ibnu Abbas berkata,
'Tidak mengapa seseorang mencicipi makanan atau sesuatu di periuk (dengan tidak
menelannya)."[23]
Al-Hasan berkata,
"Tidak mengapa orang yang berpuasa berkumur-kumur dan mendinginkan
badan."[24]
Ibnu Mas'ud
berkata, "Jika salah seorang di antara kamu berpuasa, maka hendaklah pada pagi
harinya ia dalam keadaan berharum-haruman serta rambut yang tersisir
rapi."[25]
Anas berkata, "Saya
mempunyai telaga dan saya suka menceburkan diri di dalamnya, sedang saya saat
itu sedang berpuasa."[26]
Disebutkan dari
Nabi saw. bahwa beliau menggosok giginya dengan siwak, sedangkan beliau pada
saat itu berpuasa.[27]
Ibnu Umar berkata, "Orang yang berpuasa boleh bersiwak pada permulaan hari dan akhir hari (yakni pada pagi hari dan sore hari) dan tidak boleh menelan ludahnya."[28]
Ibnu Umar berkata, "Orang yang berpuasa boleh bersiwak pada permulaan hari dan akhir hari (yakni pada pagi hari dan sore hari) dan tidak boleh menelan ludahnya."[28]
Atha' berkata,
"Jika ia menelan ludahnya, saya tidak mengatakan bahwa puasanya
batal."[29]
Ibnu Sirin berkata,
"Tidak mengapa seseorang yang berpuasa bersiwak dengan menggunakan siwak yang
basah." Ibnu Sirin ditanya, "Jika siwak yang dipergunakan itu ada rasanya,
bagaimana?" Ia menjawab, "Air pun ada rasa nya, dan engkau berkumur-kumur dengan
air pula."[30]
Anas, Hasan, dan Ibrahim berpendapat bahwa orang yang berpuasa tidak terlarang memakai celak.[31]
Anas, Hasan, dan Ibrahim berpendapat bahwa orang yang berpuasa tidak terlarang memakai celak.[31]
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah dan Ummu
Salamah yang tertera pada nomor 937 dan 938 di muka.")
Bab 26: Orang
yang Berpuasa Jika Makan atau Minum karena Lupa
Atha' berkata,
"Jika seseorang memasukkan air ke hidung dan hendak menyemprotkannya, lalu
airnya ada yang masuk ke dalam tenggorokannya, maka puasanya tidak batal, jika
ia tidak mampu menolaknya."[32]
Hasan berkata,
"Manakala tenggorokan orang yang berpuasa itu kemasukan lalat, maka puasanya
tidak batal."[33]
Hasan dan Mujahid berkata, "Jika orang yang berpuasa itu bersetubuh karena lupa, maka puasanya tidak batal."[34]
941. Abu Hurairah
r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Apabila (orang yang berpuasa) lupa,
lalu ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Karena
sesungguhnya Allah memberinya makan dan minum."
Bab 27:
Menggunakan Siwak Yang Basah dan Kering untuk Orang yang Berpuasa
Amir bin Rabi'ah
berkata, "Saya melihat Nabi bersiwak dan beliau pada saat itu sedang berpuasa.
Karena seringnya, maka saya tidak dapat membilang dan menghitungnya."[35]
Abu Hurairah r.a.
mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Andaikan tidak memberatkan umatku, niscaya
mereka kuperintahkan bersiwak pada setiap kali berwudhu."
Riwayat serupa disebutkan dari Jabir dan Zaid bin Khalid dari Nabi, dan beliau tidak mengkhususkan orang yang berpuasa dari lainnya.[36]
Aisyah mengatakan
bahwa Nabi saw. bersabda, "Bersiwak itu menyucikan mulut dan menyebabkan
keridhaan Tuhan."[37]
Atha' dan Qatadah
berkata, "Orang yang berpuasa boleh menelan ludahnya."[38]
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Utsman yang
tertera pada nomor 105.")
Bab 28: Sabda
Nabi, "Jika seseorang berwudhu, maka hendaklah menghirup air dengan lubang
hidungnya",[39] Dan Beliau Tidak Membedakan Antara Orang yang
Berpuasa dan yang Tidak[40]
Hasan berkata, "Tidak batal orang yang berpuasa memasukkan obat tetes ke dalam hidungnya, asal tidak sampai masuk ke kerongkongannya. Tidak batal pula orang yang mempergunakan celak."[41]
Atha' berkata,
"Jika orang yang berpuasa berkumur-kumur lalu membuang air yang ada di mulutnya,
maka tidak membatalkan puasa, jika ia tidak menelan ludahnya beserta sisanya.
Orang yang berpuasa jangan mengunyah sesuatu yang ada rasanya. Apabila ludahnya
bercampur kunyahannya dan tertelan, maka saya tidak mengatakan batal puasanya,
tetapi dilarang. Apabila orang yang berpuasa menyedot air ke dalam hidungnya
kemudian menyemprotkannya, tiba-tiba air itu masuk ke dalam kerongkongannya dan
tidak mampu membuangnya, maka tidak membatalkan puasanya."[42]
Bab 29: Jika
Orang Yang Berpuasa Bersetubuh pada Siang Hari Bulan Ramadhan
Disebutkan dari Abu
Hurairah sebagai hadits marfu (yakni diangkat sampai Rasulullah), "Barangsiapa
yang tidak puasa sehari dalam bulan Ramadhan tanpa adanya uzur dan bukan karena
sakit, maka tidak dapat diganti dengan puasa setahun penuh, sekalipun ia mau
berpuasa setahun penuh."[43]
Ibnu Mas'ud juga
berpendapat demikian.[44]
Sa'id bin Musayyab,
Sya'bi, Ibnu Jubair, Ibrahim, Qatadah, dan Hammad berkata, "Orang yang tidak
berpuasa pada bulan Ramadhan itu wajib mengqadha setiap hari yang
ditinggalkan."[45]
924. Aisyah r.a.
berkata, "Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, lalu ia
mengatakan bahwa dirinya terbakar. Lalu, Nabi bertanya, 'Mengapa kamu?' Dia
menjawab, 'Saya telah mencampuri istri saya pada siang bulan Ramadhan.' Kemudian
didatangkan kepada Nabi sekantong (bahan makanan), lalu beliau bertanya, 'Di
mana orang yang terbakar itu?' Orang itu menjawab, 'Saya.' Beliau bersabda,
'Bersedekahlah dengan ini.'"
Bab 30: Apabila Orang Mencampuri Istrinya pada Siang Hari Bulan Ramadhan dan Tidak Ada Sesuatu Pun yang Dapat Dipergunakan Membayar Kafarat, Maka Ia Boleh Diberi Sedekah Secukupnya untuk Membayar Kafarat
943. Abu Hurairah
r.a. berkata, "Ketika kami sedang duduk-duduk di sisi Nabi, tiba-tiba seorang
laki-laki datang kepada beliau. Ia berkata, 'Wahai Rasulullah, saya binasa.'
Beliau bertanya, 'Mengapa engkau?' Ia berkata, 'Saya telah menyetubuhi istri
saya padahal saya sedang berpuasa (pada bulan Ramadhan).' Rasulullah bersabda,
'Apakah kamu mempunyai budak yang kamu merdekakan?' Ia menjawab, 'Tidak.' Beliau
bertanya, 'Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?' Ia menjawab,
'Tidak mampu.' Beliau bersabda, 'Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh
orang miskin?' Ia menjawab, 'Tidak mampu.' Beliau bersabda, '(Duduklah!'
Kemudian ia duduk. 7/236), lalu berdiam di sisi Nabi. Ketika kami dalam keadaan
demikian, tiba-tiba dibawakan satu 'araq (satu kantong besar) yang berisi kurma
kepada Nabi. (Dalam satu riwayat: maka datanglah seorang laki-laki dari golongan
Anshar 3/137). Beliau bertanya, 'Manakah orang yang bertanya tadi?' Orang itu
menjawab, 'Saya.' Beliau bersabda, 'Ambillah ini dan sedekahkanlah.' Ia berkata
kepada beliau, 'Apakah kepada orang yang lebih fakir (dalam satu riwayat: lebih
membutuhkan) daripadaku wahai Rasulullah? Demi Allah di antara dua batu batas
(dalam satu riwayat: dua tepian kota Madinah 7/111) (ia maksudkan dua tanah
tandus Madinah) tidak ada keluarga yang lebih miskin daripada keluargaku.' Maka,
Nabi tertawa sehingga gigi seri beliau tampak. Kemudian beliau bersabda,
'(Pergilah, dan) berikanlah kepada keluargamu.'"
Bab 31: Orang yang Mencampuri Istrinya pada Siang Hari Bulan Ramadhan, Apakah Boleh Memberikan Makanan kepada Keluarganya dari Kafarat Itu, Jika Keluarganya Tergolong Orang-Orang yang Membutuhkan?
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits
Abu Hurairah sebelumnya.")
Bab 32: Berbekam
dan Muntah bagi Orang yang Berpuasa
944. Abu Hurairah r.a. berkata, "Jika seseorang muntah pada waktu puasa, maka puasanya tidak batal. Sebab, ia mengeluarkan dan bukannya memasukkan."
Disebutkan dari Abu Hurairah bahwa muntah itu mambatalkan puasa, namun riwayat yang pertama itu lebih tepat.[46]
Ibnu Abbas dan
Ikrimah berkata, "Puasa itu bisa batal dengan sebab adanya sesuatu yang masuk
dan bukan karena sesuatu yang keluar."[47]
Ibnu Umar r.a.
berbekam, padahal ia sedang berpuasa. Kemudian dia tidak lagi berbekam pada
siang hari, dan dia berbekam pada waktu malam.[48]
Abu Musa berbekam
pada malam hari.[49]
Disebutkan dari
Sa'd, Zaid bin Arqam, dan Ummu Salamah bahwa mereka berbekam pada waktu
berpuasa.[50]
Bukair berkata dari
Ummi Alqamah, "Kami berbekam di sisi Aisyah, tetapi dia tidak
melarangnya."[51]
Diriwayatkan dari
al-Hasan dari beberapa orang secara marfu, katanya, "Batal puasa orang yang
membekam dan yang dibekam."[52]
945. Hadits serupa
diriwayatkan dari al-Hasan. Ditanyakan kepadanya, "Dari Nabi?" Dia menjawab,
"Ya." Kemudian dia berkata lagi, "Allah lebih mengetahui."
946. Ibnu Abbas
r.a. mengatakan bahwa Nabi berbekam (di kepala beliau 7/5) karena suatu penyakit
yang menimpa beliau,[53] padahal beliau sedang ihram. (Karena suatu penyakit
yang menimpa beliau, dengan air yang disebut lahyu Jamal), beliau berbekam
padahal beliau sedang berpuasa."
947. Syu'bah
berkata, "Saya mendengar Tsabit al-Bunani bertanya kepada Anas bin Malik, ia
berkata, 'Apakah engkau memakruhkan berbekam untuk orang yang berpuasa (pada
zaman Nabi [54])?' Anas menjawab, 'Tidak, kecuali karena melemahkan
tubuh.'"
Bab 33: Berpuasa
dan Berbuka pada Waktu Bepergian
948. Aisyah r.a.
istri Nabi saw mengatakan bahwa Hamzah bin Anir al-Aslami berkata kepada Nabi,
"(Wahai Rasulullah, saya suka berpuasa), apakah saya boleh berpuasa dalam
bepergian?" Dan, ia banyak berpuasa. Beliau bersabda, "Jika mau, berpuasalah;
dan jika kamu mau, maka berbukalah!"
Bab 34: Jika Seseorang Berpuasa Beberapa Hari dalam Bulan Ramadhan Lalu Bepergian
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits
Ibnu Abbas yang akan disebutkan pada '64 AL-MAGHAZI / 79 - BAB'.")
Bab
35:
949. Abud Darda'
r.a. berkata, "Kami berangkat bersama Nabi dalam suatu perjalanan beliau pada
hari yang panas. Sehingga, seseorang meletakkan tangannya di atas kepalanya
karena sangat panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Nabi dan
Ibnu Rawahah."
Bab 36: Sabda
Nabi kepada Orang yang Tidak Dinaungi Sedang Hari Sangat Panas
950. Jabir bin
Abdullah r.a. berkata, "Rasulullah dalam suatu perjalanan, beliau melihat
kerumunan dan seseorang sedang dinaungi. Beliau bertanya, 'Apakah ini?' Mereka
menjawab, 'Seseorang yang sedang berpuasa.' Maka, beliau bersabda, 'Tidak
termasuk kebajikan, berpuasa dalam bepergian.'"
Bab 37: Para
Sahabat Nabi Tidak Saling Mencela dalam Hal Berpuasa dan Berbuka (Tidak
Berpuasa)
951. Anas bin Malik berkata, "Kami bepergian bersama Nabi, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa."
Bab 38: Orang yang Berbuka Dalam Bepergian Supaya Dilihat oleh Orang Banyak
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Abbas yang
tercantum pada '64-AL-MAGHAZI / 49 - BAB'.")
Bab 39: Firman
Allah, "Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah." (al-Baqarah: 184)
Ibnu Umar dan
Salamah ibnul Akwa' berkata, "Ayat di atas itu telah dimansukh (dihapuskan) oleh
ayat, 'Beberapa hari yang ditentukan itu adalah bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan
yang batil). Karena itu, barangsiapa di antaramu yang hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Barangsiapa
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak dari hari yang ia tinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.
Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.'" (al-Baqarah:
185)[55]
Ibnu Abi Laila
berkata, "Kami diberi tahu oleh para sahabat Nabi, 'Diturunkan kewajiban
berpuasa dalam bulan Ramadhan, lalu para sahabat merasa berat melakukannya. Oleh
karena itu, barangsiapa yang dapat memberikan makanan setiap harinya kepada
seorang miskin, orang itu boleh meninggalkan puasa. Yaitu, dari golongan orang
yang sangat berat melakukannya. Mereka diberi kemurahan untuk meninggalkan
puasa. Kemudian hukum di atas ini dimansukh (dihapuskan) dengan adanya ayat, 'wa
an tashuumuu khairul lakum' 'Dan berpuasa itu lebih baik bagimu'.' Lalu, mereka
diperintahkan berpuasa.'"[56]
952. Dari Ibnu Umar
r.a. (bahwa ia 5/155) membaca potongan ayat, "fidyatun tha'aamu masaakiin'
'Membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada orang-orang miskin'." Ibnu Umar
mengatakan, "Ia (ayat) itu dihapuskan hukumannya."
Bab 40: Kapankah
Dilakukannya Qadha Puasa Ramadhan
Ibnu Abbas berkata, "Tidak mengapa jika mengqadha puasa itu dipisah-pisah, karena firman Allah, 'fa'iddatun min ayyamin ukhar' 'Maka, wajiblah baginya berpuasa sebanyak yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain'.'"[57]
Sa'id
ibnul-Musayyab berkata mengenai berpuasa sepuluh hari yang pertama pada bulan
Dzulhijjah, "Hal itu tidak baik, sehingga dia memulai puasa bulan Ramadhan (yang
ditinggalkannya)."[58]
Ibrahim berkata,
"Jika seseorang teledor dalam mengqadha puasa Ramadhan, sehingga datang lagi
bulan Ramadhan berikutnya, maka dia wajib berpuasa untuk Ramadhan yang lalu dan
untuk Ramadhan yang satunya. Dia tidak diwajibkan memberi makan kepada orang
miskin."[59]
Masalah juga
diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal.[60]
Ibnu Abbas
mengatakan bahwa orang yag teledor diwajibkan memberi makan.[61]
Namun, Allah tidak
menyebutkan kewajiban memberi makan. Dia hanya berfirman, "fa'iddatun min
ayyaamin ukhar' 'Maka, wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan
itu pada hari hari yang lain'."[62]
953. Aisyah r.a.
berkata, "Saya biasa mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, dan saya tidak dapat
mengqadhanya melainkan di bulan Sya'ban." Yahya berkata, "(Hal itu karena) sibuk
dengan urusan Nabi."
Bab 41: Wanita
yang Haid Meninggalkan Puasa dan Shalat
Abu Zinad berkata, "Sesungguhnya sunnah-sunnah Nabi (yakni ucapan-ucapan dan perbuatan Nabi) dan sesuatu yang dibenarkan agama (syariat Islam) banyak yang diperselisihan antara yang satu dan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak ada jalan bagi umat Islam kecuali mengikuti salah satunya. Di antaranya adalah bahwa orang yang haid wajib mengqadha puasa, tetapi tidak wajib mengqadha shalat."[63]
Abu Zinad berkata, "Sesungguhnya sunnah-sunnah Nabi (yakni ucapan-ucapan dan perbuatan Nabi) dan sesuatu yang dibenarkan agama (syariat Islam) banyak yang diperselisihan antara yang satu dan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak ada jalan bagi umat Islam kecuali mengikuti salah satunya. Di antaranya adalah bahwa orang yang haid wajib mengqadha puasa, tetapi tidak wajib mengqadha shalat."[63]
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits
Abu Sa'id yang tertera pada nomor 725 di muka.")
Bab 42: Orang
yang Meninggal Dunia Sedang Ia Masih Punya Kewajiban Puasa
Al-Hasan berkata,
"Jika ada tiga puluh orang yang mengerjakan puasa sehari untuk orang yang
meninggal dunia, maka hal itu sudah boleh (cukup)."[64]
954. Aisyah r.a.
mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang meninggal sedang ia
masih menanggung kewajiban puasa, maka walinya berpuasa untuknya."
955. Ibnu Abbas
r.a. berkata, "Seorang laki-laki (dalam satu riwayat: seorang wanita[65]) datang kepada
Nabi. Ia berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku (dalam riwayat kedua:
saudara wanitaku[66]) meninggal, sedang ia masih mempunyai kewajiban
puasa satu bulan (dalam riwayat kedua itu disebutkan: puasa nazar) (dan dalam
riwayat ketiga: puasa lima belas hari[67]), apakah saya mengqadha untuknya?" Beliau bersabda,
"Ya, utang Allah itu lebih berhak untuk ditunaikan."
Bab 43: Kapankah
Orang yang Berpuasa Itu Boleh Berbuka?
Abu Sa'id al-Khudri
berbuka puasa ketika bulatan matahari telah tenggelam.[68]
956. Umar ibnul
Khaththab dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Apabila malam datang
dari sini, dan siang berlalu dari sini, sedang matahari telah terbenam, maka
sesungguhnya orang yang berpuasa boleh berbuka.'"
957. Abdullah bin Abi Aufa r.a. berkata, "Kami bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan, sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. Ketika matahari terbenam, beliau bersabda kepada sebagian kaum (seseorang dari mereka), 'Wahai Fulan, berdirilah, campurlah sawiq (tepung gandum) dengan air untuk kita.' Orang itu berkata, 'Wahai Rasulullah, alangkah baiknya kalau sampai tiba sore hari.' (Dalam satu riwayat: Alangkah baiknya kalau engkau menunggu sampai sore hari.' Dan dalam riwayat lain: Cahaya matahari masih tampak.[69] 2/237) Beliau bersabda, 'Turunlah, campurlah sawiq dengan air untuk kita.' Orang itu menjawab, 'Sesungguhnya engkau masih mempunyai waktu siang yang cukup.' Beliau bersabda, 'Turunlah, campurlah sawiq dengan air untuk kita.' Lalu orang itu turun, kemudian membuat minuman untuk mereka (setelah diperintahkan ketiga kalinya). Lalu, Nabi minum,[70] kemudian melemparkan isyarat (Dalam satu riwayat berisyarat dengan tangan beliau ke sini. Dan dalam satu riwayat: berisyarat dengan jarinya ke arah timur), lalu beliau bersabda, 'Apabila kamu melihat malam datang dari sini, maka orang yang berpuasa sudah diperbolehkan berbuka.'"
Bab 44: Orang
yang Berpuasa Berbuka dengan Apa yang Mudah Didapatkan, Baik Berupa Air Maupun
Lainnya
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya hadits Abdullah bin Abi
Aufa di atas.")
Bab 45:
Menyegerakan Berbuka
958. Sahl bin Sa'ad
mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Manusia itu senantiasa dalam kebaikan
selama mereka menyegerakan berbuka."
Bab 46: Apabila
Orang Berpuasa Sudah Berbuka dalam Bulan Ramadhan, Kemudian Matahari Kelihatan
Lagi
959. Asma' binti Abu Bakar r.a. berkata, "Kami berbuka pada masa Nabi pada hari yang berawan, kemudian matahari tampak lagi." Kemudian ditanyakan kepada Hisyam, "Apakah para sahabat disuruh mengqadha?" Hisyam berkata, "Harus mengqadha?"
Ma'mar berkata, "Saya mendengar Hisyam berkata, 'Aku tidak mengetahui, apakah mereka itu mengqadha atau tidak.'"[71]
Bab 47: Puasa
Anak-Anak
(Saya [Sofyan
Efendi] tidak menemukan bab 48 dan 49 pada kitab sumber, dan saya belum memahami
relevansi hadits no.964 dibawah ini dengan bab 47 ini. Menurut saya semestinya
hadits no.964 ini disimpan pada bab 50.)
964. Abu Hurairah
r.a. berkata, "Nabi melarang melakukan wishal (Dalam satu riwayat: 'Janganlah
kamu melakukan wishal', beliau ucapkan dua kali) dalam berpuasa. Salah seorang
(dalam satu riwayat: Beberapa orang 8/32) dan kaum muslimin berkata,
'Sesungguhnya engkau berwishal, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Siapakah
diantara kamu yang seperti aku? Sesungguhnya aku bermalam dengan diberi makan
dan minum oleh Tuhanku.' (Lalu mereka tetap memaksakan diri melakukan semampu
mungkin). Ketika mereka enggan menghentikan wishal, beliau mewishalkan mereka
sehari, kemudian sehari. Kemudian mereka melihat tanggal, lalu beliau bersabda,
'Seandainya tanggal itu mundur, niscaya aku tambahkan kepadamu.' Beliau bersabda
begitu seakan-akan hendak menghukum mereka ketika mereka enggan menghentikan
(wishal)."
Bab 50: Melakukan Wishal Sampai Waktu Sahur
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan hadits Abu Sa'id yang tertera pada
nomor 962 di muka.")
(Saya [Sofyan
Efendi] tidak menemukan hadits no.962 pada kitab sumber)
Bab 51: Orang
yang Bersumpah kepada Saudaranya Supaya Tidak Meneruskan Puasa Sunnahnya dan Dia
Berpendapat Tidak Wajib Mengqadhanya Jika yang Bersangkutan
Menyetujuinya
965. Abu Juhaifah berkata, "Nabi mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda'. Maka, Salman mengunjungi Abud Darda', lantas ia melihat Ummu Darda' (istri Abu Darda) mengenakan pakaian kerja (pakaian yang jelek), lalu ia bertanya kepada Ummu Darda', 'Mengapa engkau begitu?' Ia menjawab, 'Saudaramu Abud Darda' tidak membutuhkan dunia.' Kemudian Abud Darda' datang, lantas Salman membuatkan makanan untuknya, dan berkata, 'Makanlah.' Abud Darda' berkata, 'Sesungguhnya saya sedang berpuasa.' Salman menjawab, 'Saya tidak akan makan sehingga kamu makan.' Maka, Abud Darda' makan. Ketika malam hari Abud Darda' hendak melakukan shalat, lalu Salman berkata, 'Tidurlah.' Maka, ia pun tidur. Kemudian ia hendak melakukan shalat, lalu Salman berkata, 'Tidurlah!' Kemudian pada akhir malam, Salman berkata, 'Bangunlah sekarang!' Kemudian keduanya melakukan shalat. Setelah itu Salman berkata kepadanya, 'Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atasmu, dirimu mempunyai hak atasmu, dan keluargamu (istrimu) mempunyai hak atasmu. Maka, berikan kepada setiap yang mempunyai hak akan haknya.' Lalu Abud Darda' datang kepada Nabi, dan menuturkan hal itu kepada beliau. Maka, beliau bersabda, 'Benar Salman.'"
(Abu Juhaifah
adalah Wahb as-Suwai, ada yang mengatakan: Wahb al-Khair 7/105).
Bab 52: Puasa
dalam Bulan Sya'ban
966. Aisyah r.a.
berkata, "Rasulullah melakukan puasa (sunnah) sehingga kami mengatakan, 'Beliau
tidak pernah berbuka.' Dan, beliau berbuka (tidak berpuasa) sehingga kami
mengatakan, 'Beliau tidak pernah berpuasa.' Saya tidak melihat Rasulullah
menyempurnakan puasa sebulan kecuali Ramadhan. Saya tidak melihat beliau
berpuasa (sunnah) lebih banyak daripada puasa dalam bulan Sya'ban. (Dan dalam
satu riwayat: 'Nabi tidak pernah melakukan puasa (sunnah) dalam suatu bulan yang
lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Karena, beliau sering berpuasa dalam bulan
Sya'ban sebulan penuh.') Beliau bersabda, 'Lakukan amalan menurut kemampuanmu,
karena Allah tidak pernah merasa bosan terhadap amal kebaikanmu sehingga kamu
sendiri yang bosan.' Dan, shalat (sunnah) yang paling dicintai Nabi adalah yang
dilakukan secara kontinu, meskipun hanya sedikit. Apabila beliau melakukan suatu
shalat (sunnah), maka beliau melakukannya secara kontinu."
Bab 53: Perihal
Puasa Nabi dan Berbukanya
967. Ibnu Abbas
r.a. berkata, "Nabi tidak pernah berpuasa sebulan penuh selain pada bulan
Ramadhan. Beliau melakukan puasa (sunnah) sehingga ada orang yang mengatakan,
'Tidak, demi Allah, beliau tidak pernah berbuka (yakni tidak pernah tidak
berpuasa). Dan beliau juga berbuka (yakni tidak melakukan puasa sunnah), sampai
ada orang yang mengatakan, 'Tidak, demi Allah, beliau tidak pernah berpuasa
(sunnah).'"
968. Humaid berkata, "Saya bertanya kepada Anas tentang puasa Nabi, lalu ia berkata, 'Tidaklah beliau berpuasa di suatu bulan melainkan saya melihatnya, dan tidaklah beliau berbuka melainkan saya melihatnya. Tidaklah beliau berjaga malam melainkan saya melihatnya, dan tidaklah beliau tidur melainkan saya melihatnya. Saya tidak pernah menyentuh kain wool campur sutra atau sutra yang lebih halus daripada telapak tangan Rasulullah. Saya tidak pernah mencium minyak kasturi dan bau harum yang lebih harum daripada bau Rasulullah.'"
Bab 54: Hak Tamu
Dalam Puasa
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits
Ibnu Amr yang tertera pada '66-fadhaailul qur'an / 34-Bab'.")
Bab 55: Hak Tubuh dalam Berpuasa
Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Amr yang
diisyaratkan di atas.")
Bab 56: Berpuasa
Setahun
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Amr yang
diisyaratkan tadi.")
Bab 57: Hak
Keluarga (Istri) dalam Puasa
Hal itu
diriwayatkan oleh Abu Juhaifah dari Nabi saw.[72]
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Amr yang
diisyaratkan di atas.")
Bab 58: Berpuasa
Sehari dan Berbuka Sehari
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits
yang diisyaratkan di atas.")
Bab 59: Puasa
Nabi Dawud a.s.
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits yang
diisyaratkan di atas.')
Bab 60: Berpuasa
Pada Hari-hari Putih Yaitu Tanggal 13, 14, dan 15
(Saya berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Abu Hurairah
yang tertera pada nomor 608 di muka.")
Bab 61: Orang
yang Berziarah di Tempat Suatu Kaum, Tetapi Tidak Berbuka di Sisi
Mereka
969. Anas r.a.
berkata, "Nabi masuk pada Ummu Sulaim, lalu dia menghidangkan kepada beliau
kurma dan samin. Beliau bersabda, 'Kembalikanlah saminmu dan kurmamu ke dalam
tempatnya, karena aku sedang berpuasa.' Kemudian beliau berdiri di sudut rumah,
lalu melakukan shalat yang bukan fardhu. Kemudian beliau memanggil Ummu Sulaim
dan keluarganya. Ummu Sulaim berkata, 'Sesungguhnya ada sedikit kekhususan bagi
saya.' Beliau bertanya, 'Apakah itu?' Ia berkata, 'Pembantumu Anas, tidaklah ia
meninggalkan kebaikan dunia akhirat melainkan ia mendoakan untukku, 'Ya Allah,
berilah ia harta dan anak, dan berkahilah ia padanya.' Sesungguhnya saya
termasuk orang Anshar yang paling banyak hartanya. Anakku Umainah menceritakan
kepadaku bahwa dimakamkan untuk selain keturunan dan cucu-cucu saya sebelum
Hajjaj di Bashrah selang seratus dua puluh lebih.'"
Bab 62: Mengerjakan Puasa pada Akhir Bulan
970. Imran bin
Hushain r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bertanya kepada nya atau bertanya kepada
seorang lelaki dan Imran mendengar. Beliau bersabda, "Hai ayah Fulan, tidakkah
kamu berpuasa pada akhir bulan ini?" Imran berkata, "Saya kira yang beliau
maksudkan itu Ramadhan." Orang itu menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah." Beliau
bersabda, "Apabila kamu berbuka (tidak berpuasa),[73] maka berpuasalah dua hari."[74] Shalt tidak
mengatakan, "Saya mengira bahwa yang dimaksudkan itu adalah bulan Ramadhan."
(Dalam satu riwayat: "Di akhir Sya'ban.")
Bab 63: Puasa
Pada Hari Jumat (Saja). Apabila Seseorang Memasuki Pagi Hari Jumat dengan
Berpuasa, Maka Hendaklah Ia Berbuka
971. Muhammad bin
Abbad berkata, "Saya bertanya kepada Jabir, 'Betulkah Nabi melarang berpuasa
pada hari Jumat? (Yakni, mengkhususkan puasa pada hari Jumat saja)?'[75] Ia menjawab.
'Betul.'"
972. Abu Hurairah r.a. berkata, "Saya mendengar Nabi bersabda, 'Jangan sekali-kali kamu berpuasa pada hari Jumat, melainkan bersama dengan satu hari sebelumnya atau sesudahnya.'"
973. Juwairiyah bin
Harits r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. masuk padanya pada hari Jumat di mana ia
sedang berpuasa. Beliau bersabda, "Apakah kemarin engkau berpuasa?" Ia menjawab,
"Tidak". Beliau bersabda, "Apakah besok engkau berpuasa?" Ia menjawab, "Tidak."
Beliau bersabda, "Berbukalah!" (Maka, ia berbuka/tidak berpuasa).
Bab 64: Bolehkah Mengkhususkan Sesuatu Dari Hari-Hari Yang Ada
974. Alqamah
bertanya kepada Aisyah, "(Wahai Ummul Mu'minin! Bagaimanakah amalan Nabi? 7/182)
Apakah beliau mengkhususkan hari-hari dengan sesuatu?" Ia menjawab, "Tidak, amal
beliau itu kekal. Siapakah di antara kalian yang kuat (mampu) terhadap sesuatu
yang Rasulullah mampu melakukannya?"
Bab 65: Puasa
pada Hari Arafah
975. Maimunah
mengatakan bahwa orang-orang ragu-ragu terhadap puasa nya Nabi pada hari Arafah.
Maka, Maimunah mengirimkan susu yang telah diperah kepada beliau. Pada saat itu
beliau sedang berhenti di mauqif (yakni tempat wuquf di Arafah). Kemudian beliau
meminumnya, sedangkan orang-orang melihatnya.
Bab 66: Puasa
pada Hari Idul Fitri
Bab 67: Puasa
Pada Hari Nahar (Hari Raya Kurban)
976. Abu Hurairah
r.a. berkata, "Dilarang melakukan dua macam puasa dan dua macam jual beli.
Yaitu, puasa pada hari raya Fitri dan hari raya kurban, jual beli mulamasah dan
munabadzah."[76]
Bab 68: Puasa
pada Hari-Hari Tasyriq
977. Hisyam
berkata, "Aku diberitahu oleh ayahku bahwa Aisyah berpuasa pada hari-hari
tasyriq di Mina, dan ayahnya (Abu Bakar) juga berpuasa pada hari-hari itu."
978 & 979. Aisyah dan Ibnu Umar r.a. berkata, "Hari-hari Tasyriq itu tidak diperbolehkan orang berpuasa padanya selain bagi orang-orang yang tidak mempunyai binatang hadyu."
Dalam riwayat lain
dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, "Mengerjakan puasa itu boleh bagi orang yang
bertamattu' dengan umrah sampai ke haji sehingga pada hari Arafah. Jika orang
itu tidak mendapatkan hadyu dan tidak berpuasa, maka dia boleh berpuasa pada
hari-hari Mina."
Riwayat serupa juga diriwayatkan dari Aisyah.
Bab 69: Puasa
pada Hari Asyura
980. Aisyah r.a.
berkata, "Pada hari Asyura orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada masa
jahiliah, dan Rasulullah berpuasa juga. Ketika itu tiba di Madinah, beliau
berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari Asyura itu
(sebelum difardhukannya puasa Ramadhan, dan pada hari itu Ka'bah diberi kelambu
2/159). Ketika (puasa) Ramadhan difardhukan (dalam satu riwayat: turun ayat yang
mewajibkan puasa Ramadhan 5/155), maka puasa Ramadhan itulah yang wajib, dan
beliau meninggalkan hari Asyura. Barangsiapa yang mau, maka berpuasalah; dan
barangsiapa yang mau, maka ia boleh meninggalkannya." (Dan dalam satu riwayat:
"Sehingga diwajibkan puasa Ramadhan, dan Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa yang
mau, maka berpuasalah; dan barangsiapa yang mau, maka ia boleh berbuka.'"
2/226).
981. Humaid bin Abdurrahman mengatakan bahwa ia mendengar Mu'awiyah bin Abu Sufyan r.a pada hari Asyura, pada tahun haji, berkata di atas mimbar, "Wahai penduduk Madinah, manakah ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah bersabda, 'Ini adalah hari Asyura dan tidak diwajibkan mengerjakan puasa atasmu. Tetapi, aku berpuasa. Barangsiapa yang menghendaki puasa, bolehlah berpuasa. Barangsiapa yang tidak menghendaki berpuasa, maka boleh tidak berpuasa.'"
982. Ibnu Abbas r.a. berkata, "Nabi tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka, beliau bertanya, 'Apakah ini?' Mereka menjawab, 'Hari yang baik (dalam satu riwayat hari besar 4/126). Ini adalah hari yang Allah pada hari itu menyelamatkan bani Israel dari musuh mereka. (Dalam satu riwayat: Hari yang pada saat itu Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israel atas musuh mereka). Maka, Musa berpuasa pada hari itu sebagai pernyataan syukur kepada Allah, (dan kita berpuasa pada hari itu untuk menghormatinya' 4/269). Beliau bersabda, 'Aku lebih berhak (dalam satu riwayat: 'Kita lebih lebih layak) terhadap Musa daripada kamu sekalian (kaum Yahudi).' Lalu, beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan berpuasa pada hari itu." (Dalam riwayat lain: "Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka (kaum Yahudi), maka berpuasalah kalian." 5/212)
983. Abu Musa r.a. berkata, "Hari Asyura itu dianggap oleh kaum Yahudi sebagai hari raya." (Dalam satu riwayat: Abu Musa berkata, "Nabi memasuki Madinah, tahu-tahu orang-orang Yahudi mengagungkan hari Asyura dan berpuasa padanya. Lalu, Nabi bersabda, 'Kita lebih berhak untuk berpuasa pada hari itu. 4/269). Maka, berpuasalah kamu semua pada hari Asyura itu.'"
984. Ibnu Abbas
r.a. berkata, "Saya tidak pernah melihat Nabi mengerjakan puasa pada suatu hari
yang oleh beliau lebih diutamakan atas hari-hari yang lain, kecuali hari ini,
yaitu hari Asyura, dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan."
Catatan
Kaki:
[1] Di-maushul-kan oleh penyusun dalam bab
berikutnya.
[2] Di-maushul-kan oleh penyusun dari hadits Abu Hurairah secara marfu yang seperti itu pada delapan bab lagi (yakni "BAB - 8").
[3] Akan disebutkan secara maushul dengan lengkap pada
permulaan kitab AL-BUYU'.
[4] Nama judul ini adalah lafal Muslim dari hadits Abu Hurairah secara marfu, dan di-maushul-kan oleh penyusun (Imam Bukhari) dalam bab ini dengan lafal yang hampir sama dengan ini.
[5] Di-maushu!-kan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan lain-lainnya dengan sanad yang perawi-perawinya tepercaya hingga Shilah, dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah (1914), Ibnu Hibban (878) dan lainnya. Hadits ini mempunyai pendukung dari Ammar dengan lafal yang hampir sama dengannya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/72) dengan sanad sahih. Juga memiliki syahid dari jalan lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1912).
[6] Ini adalah lafal sebagian hadits bab ini di sisi
Tirmidzi.
[7] Ishaq ini adalah Ibnu Rahawaih, menurut keterangan
yang kuat dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh al-Hafizh. Silakan
periksa Masaail al-Maruzi Mahthuthat azh Zhahiriyah. Maksud hadits ini ialah
tidak berkurang pahalanya, meskipun usia bulan itu hanya dua puluh sembilan
hari.
[8] Muhammad adalah Imam Bukhari penyusun kitab Shahih
Bukhari itu sendiri (yakni Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari -penj.).
Maksud hadits ini, kedua bulan itu tidak mungkin berkurang secara bersama-sama
(yakni masing-masing secara bersamaan berjumlah dua puluh sembilan hari). Jika
yang satu berjumlah dua puluh sembilan hari, maka bulan yang satunya tentu tiga
puluh hari. Inilah yang biasa terjadi. Dan yang tidak demikian, jarang sekali
terjadi. Demikian kesimpulan al-Hafizh.
[9] Demikianlah judul yang asli. Di dalam naskah al-Hafizh disebutkan Bab Ta'jilis-Sahur, dan ia berkata, "Ibnu Baththal berkata, 'Kalau bab ini diberi judul Bab Ta'khiris Sahur, niscaya bagus. Maghlathay memberi komentar bahwa dia menjumpai di dalam naskah lain dari al-Bukhari Bab Ta'khiris-Sahur. Tetapi, saya sama sekali tidak melihat hat itu di dalam naskah at Bukhari yang ada pada kami."
[10] Menunjuk kepada hadits Ibnu Umar yang disebutkan dalam bab ini, dan yang sama dengannya adalah hadits Anas yang akan disebutkan pada "48 - BAB" dan hadits Abu Hurairah sesudahnya.
[11] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdur
Razzaq dari jalan Ummu Darda' dengan sanad yang sahih.
[12] Atsar Thalhajh di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq
dan Ibnu Abi Syaibah dari dua jalan dari Anas, sanadnya sahih. Atsar Abu
Hurairah di-maushul-kan oleh Baihaqi. Atsar Ibnu Abbas di-maushul-kan oleh
Thahawi dengan sanad yang bagus (jayyid), dan atsar Hudzaifah di-maushul-kan
oleh Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah.
[13] Hammam adalah Ibnu Munabbih. Riwayatnya ini di-maushul-kan oleh Ahmad (2/314) dengan isnadnya darinya dari Abu Hurairah secara marfu dengan lafal, "Apabila telah dikumandangkan azan subuh, sedangkan salah seorang dari kamu dalam keadaan junub, maka janganlah ia berpuasa pada hari itu." Adapun riwayat Ibnu Abdullah bin Umar di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq. Akan tetapi, namanya diperselisihkan sebagaimana dipaparkan dalam al-Fath. Namun, riwayatnya didukung oleh banyak orang, antara lain Abdullah bin Umar bin Abdul Qari darinya, diriwayatkan oleh Abdur Razzaq (7399) dan Ahmad (2/248).
[14] Yakni, hadits Aisyah dan Ummu Salamah lebih kuat,
karena hadits ini diriwayatkan dari mereka dari jalan yang banyak sekali yang
semakna, sehingga Ibnu Abdil Barr berkata, "Sesungguhnya riwayat ini sah dan
mutawatir. Adapun Abu Hurairah, maka kebanyakan riwayat darinya adalah berupa
fatwanya sendiri. Diriwayatkan darinya dari dua jalan ini bahwa ia merafakannya
kepada Nabi. Akan tetapi, kemudian Abu Hurairah meralat fatwanya itu. Silakan
baca perinciannya di dalam Fathul Bari."
[15] Asal arti kata "mubasyarah" ialah bertemunya dua
kulit, juga dapat berarti bersetubuh. Tetapi, bukan ini yang dimaksudkan dalam
judul ini, sebagaimana dijelaskan dalam Fathul Bari. Lafal ini ditafsirkan oleh
sebagian orang yang bodoh dengan pengertian bersetubuh. Dengan didasarkan atas
kebodohannya itu dia menghukumi hadits ini sebagai hadits maudhu 'palsu' di
dalam makalah yang dipublikasikan oleh majalah al-Arabi terbitan Kuwait, dengan
penuh kebohongan dan kepalsuan. Hanya kepada Allahlah tempat mengadu.
[16] Di-maushul-kan oleh Thahawi dan lainnya dengan sanad yang sahih sebagaimana telah saya jelaskan dalam Silsilatul Ahaditsish Sahihah (221).
[17] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Hatim dengan sanad
yang terputus.
[18] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad yang sahih.
[19] Di-rnaushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad
yang sahih.
[20] Al-Hafizh berkata, "Boleh jadi tertawa Aisyah ini karena merasa heran terhadap orang yang menentang kebolehan perbuatan ini. Ada yang mengatakan bahwa ia menertawakan dirinya sendiri karena menceritakan hal ini, yang biasanya seorang wanita merasa malu menceritakannya kepada kaum laki-laki. Tetapi, ia terpaksa menyampaikannya demi menyampaikan ilmu. Boleh jadi ia tertawa karena geli menceritakan dirinya sendiri yang melakukan hal itu dan dia teringat bahwa sebenarnya dialah pelaku cerita itu. Penyampaiannya dengan kalimat begitu supaya menambah kepercayaan orang yang mendengarnya. Dan, boleh jadi ia tertawa karena gembira terhadap kedudukannya di sisi Nabi dan karena cinta beliau kepadanya yang sedemikian rupa."
[21] Di-maushul-kan oleh penyusun dalam at-Tarikh dan
Ibnu Abi Syaibah dari jalan Abdullah bin Abu Utsman bahwa dia melihat Utsman
berbuat begitu.
[22] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad
yang sahih.
[23] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Baghawi dalam al Ja'diyyat.
[24] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq yang semakna
dengannya. Imam Malik dan Imam Dawud meriwayatkan yang semakna dengannya secara
marfu.
[25] Al-Hafizh tidak mentakhrijnya.
[26] Di-maushul-kan oleh as-Sarqasthi di dalam Gharibul Hadits.
[27] Al-Hafizh tidak mentakhrijnya di sini, dan dimaushulkan oleh Ahmad dan lainnya dengan sanad yang lemah dari Amir bin Rabi'ah, dan akan disebutkan oleh penyusun secara mu'allaq sebentar lagi. Telah saya jelaskan dan saya takhrij di dalam al-Irwa' nomor 68.
[28] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/47) dengan riwayat yang semakna dengannya.
[29] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad yang
sahih.
[30] Di-maushul-kan juga oleh Ibnu Abi
Syaibah.
[31] Atsar Anas diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dilemahkannya riwayat yang marfu dari Anas. Atsar Hasan di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah (3/47) dengan sanad yang sahih. Sedangkan, atsar Ibrahim di-maushul-kan oleh Sa'id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Dawud dari Ibrahim dengan sanad yang sahih.
[32] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq (7379) dan Ibnu Abi Syaibah (3/70) dengan sanad yang sahih.
[33] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/107) dengan
isnad yang sahih.
[34] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan dua isnad
dari al-Hasan dan Mujahid, dan riwayat Mujahid adalah sahih.
[35] Hadits yang semakna dengannya sudah disebutkan di
muka beserta takhrijnya pada nomor 300.
[36] Hadits Jabir di-maushul-kan oleh Abu Nu'aim dalam
Kitab as-Siwak dengan sanad yang hasan. Hadits Yazid bin Khalid di-maushul-kan
oleh Ahmad, Ashhabus Sunan, dan lain-lainnya, dan sudah ditakhrij pada sumber di
atas.
[37] Di-maushul-kan oleh Ahmad dan lainnya dengan sanad
sahih, dan hadits ini sudah saya takhrij di dalam Irwa-ul Ghalil
(65).
[38] Di-maushul-kan oleh Sa'id bin Manshur dari Atha', dan oleh Abd bin Humaid dari Qatadah.
[39] Di-maushul-kan oleh Muslim dan Ahmad (2/316) dari
hadits Abu Hurairah.
[40] Ini merupakan perkataan Imam Bukhari sendiri
sebagai hasil ijtihad fiqihiahnya, demikian pula mengenai masalah istinsyaq
'menghirup air ke dalam hidung'. Akan tetapi, terdapat riwayat yang membedakan
antara orang yang berpuasa dan yang tidak berpuasa, yaitu mengenai istinsyaq
yang dilakukan secara bersangatan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Ashhabus-Sunan dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan lainnya dari jalan Ashim bin
Laqith bin Shabrah dari ayahnya, bahwa Nabi bersabda kepadanya,
"Bersungguh-sungguhlah kamu dalam beristinsyaq kecuali jika kamu sedang
berpuasa." Tampaknya penyusun (Imam Bukhari) mengisyaratkan hal ini dengan
mengemukakan atsar al-Hasan sesudahnya. Demikian keterangan al-Fath. Saya
katakan bahwa hadits Ashim tersebut adalah sahih, dan telah saya takhrij di
dalam Shahih Abu Dawud (130) dan al-Irwa. (90).
[41] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi
Syaibah.
[42] Di-maushul-kan oleh Sa'id bin Manshur dan Abdur
Razzaq. Akan tetapi, di dalam riwayat Abdur Razzaq (7487) terdapat tambahan,
"Jika dia menelannya padahal sudah dikatakan kepadanya bahwa hal itu terlarang",
Atha' menjawab, "Kalau begitu batal puasanya." Ia mengucapkan demikian beberapa
kali. Sanadnya sahih.
[43] Di-maushul-kan oleh Ashhabus-Sunan dengan isnad yang lemah sebagairnana saya jelaskan di dalam Takhrij at-Targhib (2/74).
[44] Di-maushul-kan oleh Baihaqi (4/228) dari dua jalan
dari Ibnu Mas'ud.
[45] Atsar Sa'id bin Musayyab di-maushul-kan oleh
Musaddad dan lainnya, dan diriwayatkan oleh Abdur Razzaq (7469) dan Ibnu Abi
Syaibah (3/105) dengan lafal, "Hendaklah ia berpuasa menggantikan setiap hari
puasa yang ditinggalkannya itu dalam sebulan.", dan sanadnya sahih. Atsar
asy-Sya'bi diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dengan sanad yang sahih juga, dan
Abdur Razzaq (7476), dan Ibnu Abi Syaibah (3/105). Atsar Ibnu Jubair yaknai
Sa'id bin Jubair di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih. Atsar
Ibrahim yakni Ibnu Yazid an-Nakha'i di-maushul-kan oleh Said bin Manshur dan
Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih. Atsar Qatadah di-maushul-kan oleh Abdur
Razzaq dengan sanad yang sahih. Dan, atsar Hammad yakni Ibnu Abi Sulaiman
diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dari Abu Hanifah darinya.
[46] Saya melihat riwayat ini bukan riwayat mauquf dari
Abu Hurairah, tetapi merupakan riwayat marfu dengan lafal, "Barangsiapa yang
terdorong muntah sedangkan dia berpuasa, maka dia tidak wajib mengqadha; dan
jika dia sengaja muntah, maka hendaklah ia mengqadha." Hadits ini sudah saya
takhrij di dalam al-Irwa' (915).
[47] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan dua
isnad yang sahih (3/51/39).
[48] Di-maushul-kan oleh Malik dengan isnad yang sahih.
[49] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad
yang sahih, dan oleh Nasa'i dan Hakim.
[50] Atsar Sa'ad di-maushul-kan oleh Imam malik dengan
sanad yang terputus. Atsar Zaid di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad
yang lemah. Atsar Ummu Salamah dimaushulkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad
yang di dalamnya terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya. Oleh karena itu,
penyusun membawakan riwayat ini dengan menggunakan kata kerja
pasif.
[51] Di-maushul-kan oleh penyusun di dalam kitab
at-Tarikh. Ummu Alqamah ini namanya Mirjanah, dan keadaannya tidak dikenal
(majhub).
[52] Di-maushul-kan oleh Nasai dari jalan Abu Hurairah
dari al-Hasan. Diperselisihkan pensanadannya kepada al-Hasan sebagaimana
dijelaskan oleh al-Hafizh dalam al-Fath. Akan tetapi, hadits ini diriwayatkan
secara sah dari selain jalan ini dari lebih dari seorang sahabat, dan telah saya
takhrij di dalam al-Irwa'. Namun, hadits ini mansukh (dihapuskan hukumnya), dan
nasikhnya atau penghapusnya ialah hadits Ibnu Abbas yang akan datang (nomor
946), juga oleh hadits Abu Sa'id al-Khudri yang mengatakan, "Nabi telah
memberikan kemurahan untuk berbekam bagi orang yang berpuasa", dan sanad hadits
ini juga sahih sebagaimana saya jelaskan di situ.
[53] Tambahan ini secara mu'allaq pada penyusun, tetapi di-maushul-kan oleh al-Isma'ili.
[54] Tambahan ini adalah mu'allaq pada penyusun, tetapi di-maushul-kan oleh Ibnu Mandah di dalam Gharaaibi Syu'bah, namun isnadnya diperselisihkan. Silakan baca al-Fath.
[55] Di-maushul-kan oleh penyusun pada akhir bab ini dari Ibnu Umar. Sedangkan, riwayat Salamah di-maushul-kannya pada "65 -TAFSIRU AL-BAQARAH / 26 - BAB".
[56] Riwayat ini disebutkan secara mu'allaq oleh penyusun, dan di-maushul-kan oleh Baihaqi di dalam Sunannya (4/200) dengan sanad sahih. Di-maushul-kan juga oleh Abu Dawud dan lainnya dengan redaksi yang mirip dengan itu. Silakan periksa Shahih Abu Dawud (523)
[57] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dan Daruquthni
dengan sanad yang sahih. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
(3/32).
[58] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan lafal
yang hampir sama (3/74) dengan isnad yang sahih.
[59] Di-maushul-kan oleh Sa'id bin Manshur dengan isnad
yang sahih.
[60] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq secara mauquf
pada Abu Hurairah dengan isnad yang sahih. Inilah yang dimaksud dengan "mursal'
di sini, dan ini merupakan istilah khusus. Karena, pengertian "mursal" yang
sebenarnya ialah periwayatan di mana seorang tabi'i berkata, "Rasulullah
bersabda " (dengan tidak menyebutkan nama sahabat), sebagaimana istilah yang
sudah dimaklumi.
[61] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq, Sa'id bin Manshur, dan Baihaqi dengan sanad yang sahih.
[62] Ini adalah perkataan Imam Bukhari sendiri sebagai
hasil ijtihad fiqihiah.
[63] Al-Hafizh tidak mentakhrijnya.
[64] Di-maushul-kan oleh Daruquthni dalam Kitab
adz-Dzabh dengan sanad sahih.
[65] Riwayat ini adalah mu'allaq di sisi penyusun dari
beberapa jalan. Tetapi, sebagian jalannya di-maushul-kan oleh Muslim dan lainnya
sebagaimana sudah saya jelaskan di dalam Ash-Shahihah (pada nomor sebelum
2000).
[66] Riwayat ini juga mu'allaq, tetapi di-maushul-kan
oleh Ahmad.
[67] Di-maushul-kan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hasan bin Sufyan, dan al-Baihaqi (3/265), dan di dalam sanadnya terdapat Abu Haris sedangkan dia itu lemah.
[68] Di-mausltu!-kan oleh Said bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah (3/12) dengan sanad yang sahih.
[69] Seakan-akan dia berkata, "Cahaya matahari masih tampak, maka alangkah baiknya kalau engkau tunggu sehingga cahayanya lenyap dan malam tiba." Dengan ucapannya ini ia mengisyaratkan kepada firman Allah, 'Dan sempurnakanlah puasa hingga malam tiba.' Seolah-olah dia mengira bahwa malam itu belum datang sehingga dengan jelas matahari telah tenggelam secara langsung, sesudah kegelapan merata ke timur dan barat. Maka, Nabi memberikan pengertian kepadanya bahwa malam itu dianggap sudah tiba apabila permulaan gelap telah terjadi dari arah timur dan persis setelah matahari tenggelam.
[70] Abdur Razzaq menambahkan (4/226/7594) bahwa orang itu berkata, "Kalau seseorang mau melihat-lihatnya di atas kendaraannya, niscaya dia dapat melihatnya, yakni melihat matahari." Sanadnya sahih menurut syarat Shahih Bukhari dan Muslim.
[71] Di-maushul-kan oleh Abd bin Humaid, dia berkata,
"Kami diberi tahu oleh Ma'mar tentang hal itu." Sanadnya sahih.
[72] Menunjuk kepada hadits yang baru saja disebutkan
di muka "51- BAB" nomor 965.
[73] Muslim menambahkan (3/168): "dan puasa
Ramadhan".
[74] Muslim juga menambahkan: "sebagai
gantinya".
[75] Tambahan ini diriwayatkan secara mu'allaq oleh
penyusun, dan di-maushul-kan oleh Nasa'i dengan sanad yang sahih.
[76] Jual beli mulamasah ialah dengan menyentuh kain tanpa melihatnya. Dengan cara demikian jual beli pun terjadi dan tidak ada hak khiyar 'menentukan pilihan'. Demikian pula dengan munabadzah, di sini si pembeli tidak punya hak untuk melihat barangnya. Larangan jual beli mulamasah dan munabadzah ini sudah disebutkan dari jalan lain pada nomor 328 dengan ditegaskan sebagai hadits marfu dari Nabi saw. Sedangkan, larangan puasanya itu tidak saya lihat secara tegas sebagai hadits marfu dalam kitab ini. Karena itulah saya tidak memasukkannya ke jalan periwayatan yang lalu, dan saya memberinya nomor tersendiri.
0 komentar:
Silahkan Komentar Tapi Yang Sopan, Kami Pasti Segan